JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi IX DPR RI Arzeti Bilbina mempertanyakan kebijakan pemerintah yang membuka kembali moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi. Menurutnya, kebijakan tersebut harus ditinjau ulang mengingat masih banyaknya kasus lama yang belum diselesaikan oleh pemerintah Arab Saudi terhadap pekerja migran Indonesia di sana.
"Pemerintah jangan sampai membuka moratorium tetapi kita tidak mereview permasalahan lama yang dilakukan pemerintahan Arab Saudi terhadap pekerja migran kita," kata Arzeti Bilbina, Senin (24/3/2025).
Arzeti meminta agar pemerintah tetap mempertahankan moratorium penempatan PMI ke Arab Saudi, khususnya untuk sektor domestik.
"Masih banyak PR lama yang belum dijalankan pemerintah Arab Saudi dengan berbagai macam kasus dari pekerja migran kita di sana. Sekarang kenapa tiba-tiba dibuka kembali?” tuturnya.
Seperti diketahui, moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi diberlakukan sejak 2015 karena banyaknya kasus pelanggaran hak dan perlakuan buruk terhadap pekerja migran Indonesia, seperti perbudakan, kekerasan fisik dan seksual, bahkan ancaman hukuman mati.
Namun, dengan adanya janji dari pemerintah Arab Saudi untuk memberikan perlindungan yang lebih baik, Presiden Prabowo Subianto merestui pencabutan moratorium tersebut. Pemerintah rencananya akan segera menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Arab Saudi terkait kesepakatan ini di mana tahap awal pemberangkatan PMI ke Arab Saudi akan dimulai pada Juni 2025.
Meski telah ada evaluasi terhadap Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) yang diklaim lebih aman, Arzeti mengingatkan bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran terkait PMI harus tetap menjadi perhatian dan tidak boleh diabaikan.
“Fraksi PKB berpandangan bahwa keamanan dalam sistem penempatan hanyalah satu aspek. Jauh lebih penting adalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, eksploitasi, dan berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami oleh PMI kita di masa lalu dan bahkan hingga saat ini,” jelas Arzeti.
“Kita tidak bisa begitu saja membuka kembali pintu penempatan tanpa adanya jaminan yang kuat dan terukur dari Pemerintah Arab Saudi terkait penyelesaian kasus-kasus yang telah menahun,” imbuh anggota Fraksi PKB DPR RI itu.
Arzeti mengatakan ada beberapa kasus PMI di Arab Saudi selama ini yang menjadi perhatian serius. Pemerintah diminta menjadikan hal tersebut sebagai pertimbangan agar tidak mencabut moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi.
“Seperti kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan, kasus gaji tidak dibayar, kondisi kerja tidak layak, serta kasus hukum yang tidak mendapatkan pembelaan yang adil,” urai Arzeti.
Arzeti memahami adanya potensi manfaat ekonomi dari penempatan PMI ke luar negeri.
“Namun, keselamatan dan kesejahteraan nyawa anak bangsa jauh lebih berharga dari sekadar keuntungan ekonomi,” tegas Anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan Ketenagakerjaan dan Pekerja Migran itu.
Oleh karenanya, Arzeti mendesak Pemerintah untuk melakukan sejumlah hal sebelum membuka kembali moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi. Hal yang paling utama adalah agar Pemerintah memastikan Pemerintah Arab Saudi menyelesaikan seluruh kasus-kasus PMl yang bermasalah secara transparan dan adil.
“ Pemerintah juga harus menuntut adanya perjanjian bilateral yang lebih kuat dan mengikat antara Indonesia dan Arab Saudi yang secara spesifik mengatur perlindungan hak-hak PMI, mekanisme pengawasan yang ketat, dan sanksi yang tegas bagi pelanggar,” papar Arzeti.
“Kemudian penting juga bagi Pemerintah untuk meningkatkan peran dan fungsi perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi dalam memberikan perlindungan dan bantuan hukum kepada PMI,” tambahnya.
Di sisi lain, Arzeti menegaskan perlindungan terhadap PMI juga sangat penting untuk melindungi masyarakat Indonesia dari modus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Mengingat banyak WNI yang menjadi korban TPPO, khususnya yang terkait dengan jaringan scam di Myanmar dan Thailand di mana mereka berangkat secara ilegal.
“Kita juga pernah mendengar cerita dari korban TPPO di Thailand dan Myanmar, anak-anak muda dari sejumlah daerah yang ahli komputer atau IT, terutama lulusan SMA,” sebut Arzeti.
Dalam cerita korban, mereka direkrut melalui grup Telegram dengan iming-iming penghasilan tinggi sehingga tergiur dengan tawaran gaji besar tersebut. Mereka lalu dibuatkan paspor dan diberangkatkan dengan pesawat, namun dengan perintah jarak jauh. Sehingga korban berangkat secara mandiri dari Indonesia.
Namun setibanya di negara tujuan, mereka malah dibawa ke lokasi yang sangat jauh dan terpencil, bahkan di tengah hutan, bukan di gedung atau fasilitas yang layak. Di sana, mereka dipaksa untuk bekerja 24 jam sehari sebagai operator scam. Korban diharuskan mencari nomor telepon baru setiap harinya untuk menawarkan transaksi ilegal melalui komputer.
Ada ancaman fisik bagi yang tidak mampu bekerja dengan maksimal. Jika ada korban yang tidak mampu memenuhi target kerja, mereka disiksa dengan cara dimasukkan ke terowongan gelap yang panas dan penuh sesak, untuk memberikan efek jera dan memaksa mereka kembali bekerja.
"Modus seperti ini sangat memprihatinkan. Para korban, yang sebagian besar adalah anak-anak muda dari daerah, dirampas hak dan kebebasan mereka, dipaksa untuk melakukan tindakan kriminal yang merugikan banyak orang, dan bahkan diperlakukan dengan sangat kejam," jelas Arzeti.
Legislator dari Dapil Jawa Timur I itu pun meminta kementerian/lembaga terkait untuk segera menuntaskan masalah PMI ilegal yang menjadi korban scam. Termasuk, kata Arzeti, melakukan penyelidikan terhadap jaringan perekrutan dan penyelundupan perdagangan orang yang terlibat.
"Tidak hanya Kementerian ketenagakerjaan atau BP2MI yang harus menindak jaringan perekrutan pekerja migran ilegal. Imigrasi juga perlu aware untuk mengawasi anak-anak muda yang berpergian ke luar negeri yang rawan TPPO," tutupnya.