JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pakar hukum Prof. Dr. Henry Indraguna, S.H., M.H., menyambut positif langkah DPR RI yang telah menerima Surat Presiden (Surpres) Nomor R-19/Pres/03/2025 dari Presiden Prabowo Subianto terkait penunjukan wakil pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Surat tersebut diterima sebagaimana disampaikan Ketua DPR RI Puan Maharani dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (25/3/2025).
RUU ini akan segera dibahas bersama Komisi III DPR RI setelah Surpres resmi diterima pada Kamis (20/3/2025).
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, mengungkapkan bahwa draf final RUU KUHAP telah siap dibahas.
“Surpres-nya sudah keluar dan ditandatangani Presiden. Kami targetkan pembahasan selesai dalam waktu singkat karena jumlah pasalnya tidak terlalu banyak,” ujar politisi Partai Gerindra tersebut.
Prof. Henry, yang juga Penasihat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar, menegaskan bahwa RUU KUHAP akan memperkuat peran advokat dalam proses hukum.
Selama ini, advokat kerap hanya menjadi “penonton” saat kliennya diperiksa, tanpa hak untuk berbicara atau memberikan masukan.
“Kami ingin advokat memiliki hak bicara dan menjadi penasehat hukum yang aktif bagi kliennya,” tegasnya di Jakarta, Kamis (27/3/2025).
Langkah ini, menurutnya, akan memperkuat hak hukum tersangka, khususnya pada tahap penyidikan yang rentan terjadi pelanggaran.
Penguatan peran advokat juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pada pasal 5 ayat (1) UU tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa advokat berstatus sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri, dengan kedudukan setara bersama polisi, jaksa, dan hakim.
“Peran advokat yang aktif di penyidikan dapat menekan risiko intimidasi, terutama bagi rakyat kecil yang awam hukum,” tambah Prof Henry, yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Selain itu, usulan Peradi tentang pemberian hak imunitas bagi advokat juga diterima.
"Advokat tidak dapat dituntut di dalam maupun di luar pengadilan sepanjang menjalankan tugas dengan etika dan sesuai UU,” ungkap Juniver, salah satu peserta RDPU dengan Komisi III DPR RI.
Prof Henry Indraguna berharap hak imunitas ini diharapkan menghilangkan kecemasan advokat dalam membela kepentingan masyarakat demi keadilan.
Meski optimistis, Prof. Henry menyoroti sejumlah pasal dalam RUU KUHAP yang berpotensi menjadi “bumerang”.
Salah satunya adalah pasal dominus litis yang memberikan kewenangan besar kepada jaksa untuk menyidik dan menahan.
“Tanpa pengawasan ketat, rakyat biasa berisiko menjadi korban penahanan sepihak. Apalagi ada pasal penahanan yang bisa diperpanjang dengan alasan abu-abu, ini rawan disalahgunakan,” ungkap doktor ilmu hukum dari UNS Surakarta dan Universitas Borobudur tersebut.
Ia juga memperingatkan soal pasal penyadapan yang dapat mengancam privasi masyarakat.
“Bayangkan data pribadi disadap tanpa izin pengadilan dan tanpa tujuan jelas di awal. Jika ini terjadi merippelanggaran serius,” kata Wakil Ketua Umum Bapera ini.
Selain itu, perlindungan bagi saksi dan korban dinilai masih lemah.
“Korban kejahatan bisa takut bersaksi karena tidak ada jaminan keselamatan,” tambahnya.
Prof. Henry, yang pernah menjadi Tim Ahli Wantimpres, juga mempertanyakan efektivitas implementasi RUU ini.
Dia menekankan perlunya pengaturan tegas soal bantuan hukum pro bono (gratis).
“Jika tidak diatur jelas, hanya mereka yang mampu membayar advokat yang diuntungkan. Ketimpangan hukum akan semakin lebar, dan tujuan keadilan tidak tercapai,” tegasnya.
Harapan Reformasi Hukum
Pembahasan RUU KUHAP masih bergulir di DPR, dengan masyarakat dan pegiat hukum terus mengawal agar revisi ini tetap pada jalur reformasi sistem hukum yang adil dan transparan.
“Hukum sejatinya harus melindungi dan memberikan afirmasi, bukan menakuti rakyat,” pungkas Prof. Henry.
Dengan peran advokat yang kini diperkuat, diharapkan RUU ini menjadi tonggak baru menuju keadilan yang lebih merata, meski tantangan pasal-pasal kontroversial masih membayangi.