Oleh Ariady Achmad pada hari Jumat, 18 Apr 2025 - 20:02:53 WIB
Bagikan Berita ini :

Candu Kekuasaan dan Lenyapnya Jati Diri Pemimpin

tscom_news_photo_1744981373.jpg
InDemo (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA, TEROPONGSENAYAN.COM - Kekuasaan, pada hakikatnya, adalah amanah. Namun sejarah dunia berulang kali menunjukkan bahwa kekuasaan juga bisa menjelma menjadi candu—menggiurkan, memabukkan, bahkan membinasakan. Ia bukan sekadar alat untuk mengatur, melainkan godaan yang dapat mengubah jati diri seseorang, menjauhkan pemimpin dari cita-cita awalnya.

Lihatlah bagaimana sejarah mencatat transformasi para penguasa. Uni Soviet, di bawah Stalin, mengokohkan kekuasaan dengan ketakutan dan penyingkiran. Di tangan Stalin, negara menjadi mesin totalitarian yang menuntut loyalitas mutlak. Puluhan tahun kemudian, Vladimir Putin mewarisi jejak otoritarianisme tersebut dengan wajah baru: modern, populis, namun tetap represif. Demokrasi hanya tampak di permukaan; kendali tetap berada di satu tangan.

Tiongkok pun tidak jauh berbeda. Mao Zedong memimpin revolusi rakyat, tetapi revolusi itu berubah menjadi bencana kemanusiaan. Di bawah Mao, rakyat diminta tunduk total kepada partai dan ideologi. Kini, Xi Jinping hadir sebagai simbol kebangkitan nasional dan modernisasi, tetapi juga menghapus batas masa jabatan presiden dan memperkuat kultus personalitas—langkah yang mengingatkan pada masa lalu yang kelam. Di tengah kemajuan ekonomi, ruang kebebasan menyempit.

Indonesia pun memiliki cerita serupa. Soekarno, sang proklamator, memulai kepemimpinan dengan semangat revolusioner dan visi kebangsaan yang kuat. Namun pada akhirnya, ia membungkus kekuasaan dalam konsep “demokrasi terpimpin” yang sesungguhnya menyingkirkan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Kepemimpinan yang awalnya berpijak pada suara rakyat, berubah menjadi kekuasaan yang berpusat pada satu figur.

Reformasi 1998 membuka harapan akan perubahan. Muncullah Joko Widodo, sosok yang lahir dari rakyat kecil dan membawa harapan baru akan kepemimpinan yang merakyat dan bersih. Namun waktu berjalan, dan kekuasaan menuntut kompromi. Dalam upayanya mempertahankan stabilitas, Jokowi menjalin aliansi dengan berbagai kekuatan lama, bahkan mengangkat rival politiknya ke lingkar kekuasaan. Kini, Prabowo Subianto, yang dulunya adalah oposisi tegas, justru tampil sebagai penerus tampuk kekuasaan. Sebuah ironi politik yang memperlihatkan betapa cairnya garis antara idealisme dan pragmatisme saat kekuasaan menjadi tujuan.

Pertanyaannya: mampukah Prabowo tetap menjadi dirinya sendiri? Atau akan hanyut dalam arus candu kekuasaan seperti para pendahulunya?

Kekuasaan bisa menjadi berkah jika dijalankan dengan kerendahan hati, transparansi, dan komitmen moral. Namun bisa pula menjadi malapetaka bila hanya menjadi alat pelanggengan diri dan kroni. Sejarah bukan sekadar kilas balik, tapi peringatan. Dan bangsa yang lalai membaca peringatan, akan mengulang kesalahan yang sama.

Candu kekuasaan tidak mengenal ideologi, latar belakang, atau niat awal. Ia menguji karakter, membongkar topeng, dan memaksa kita bertanya: siapa yang masih menjadi dirinya sendiri setelah duduk di singgasana?

Hanya pemimpin sejati yang mampu menjawabnya.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
IDUL FITRI 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
IDUL FITRI 2025 WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2025 HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2025 HERMAN KHAERON
advertisement