Jakarta, TEROPONGSENAYAN.COM - Pada 11 Maret 1998, Soeharto kembali dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia setelah Pemilu yang memenangkan Golkar secara mutlak. Di atas kertas, keabsahan kekuasaannya tak terbantahkan. Namun, hanya dalam dua bulan, tekanan rakyat, krisis ekonomi, dan ketidakmampuan politik memaksanya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
Soeharto, presiden paling kuat dalam sejarah republik ini, belajar dengan pahit: terpilih secara konstitusional tidak berarti kekuasaan itu abadi atau kebal koreksi.
Tiga tahun kemudian, kisah serupa terjadi pada Abdurrahman Wahid. Gus Dur, dengan dukungan koalisi reformasi, terpilih menjadi Presiden melalui Sidang Umum MPR 1999. Tetapi dalam perjalanan kekuasaannya, konflik politik, tuduhan penyimpangan, dan ketidakstabilan pemerintahan mengantarnya ke pemakzulan dalam Sidang Istimewa MPR 2001. Semua berjalan sesuai koridor hukum.
Kini, ketika Partai Golkar berusaha membangun narasi bahwa kemenangan Gibran Rakabuming Raka secara konstitusional menutup ruang pemakzulan, sejarah bangsa ini berbicara sebaliknya.
Terpilih secara konstitusional tidak pernah berarti mendapatkan sertifikat kebal hukum dan politik.
Pakar hukum tata negara, Prof. Jimly Asshiddiqie, menegaskan, "Konstitusi mengatur pemakzulan bukan sebagai pelanggaran hukum, melainkan mekanisme konstitusional untuk menjaga akuntabilitas pejabat negara."
Pasal 7A UUD 1945 menyebut tegas: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan jika melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, suap, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat jabatan. Prosesnya diatur dalam Pasal 7B, melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR.
Konstitusi tidak membedakan apakah seorang pejabat itu terpilih lewat pemilu bersih atau pemilu penuh manipulasi. Yang penting adalah: apabila dalam masa jabatannya ia melanggar prinsip hukum, moralitas, atau kelayakan, ia harus bertanggung jawab.
Prof. Zainal Arifin Mochtar dari UGM mengingatkan, "Pemilihan yang sah hanyalah tiket masuk. Setelah itu, pemimpin harus mempertahankan legitimasi moral dan kinerja. Kalau tidak, pintu pemakzulan sah dibuka."
Dalam kasus Gibran, kontroversi sudah merekam jejak sejak awal: mulai dari manipulasi syarat usia melalui putusan Mahkamah Konstitusi, konflik kepentingan keluarga kekuasaan, hingga lemahnya independensi lembaga negara.
Ahli hukum Bivitri Susanti bahkan menyebut bahwa "fondasi moral keterpilihan Gibran sudah tercemar sejak prosesnya."
Dengan latar itu, klaim bahwa "Gibran tidak bisa dimakzulkan" adalah bentuk ketakutan terhadap demokrasi itu sendiri.
Demokrasi tidak mengenal istilah anak emas. Dalam demokrasi, setiap pejabat publik—tak peduli anak presiden atau anak rakyat biasa—wajib mempertanggungjawabkan amanahnya di hadapan hukum dan rakyat.
Ruang pemakzulan tidak hanya sah, tetapi justru vital untuk mencegah negara ini kembali jatuh ke dalam kubangan otoritarianisme yang dibungkus legitimasi palsu.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #