Oleh Radhar Tribaskoro pada hari Kamis, 29 Mei 2025 - 09:35:52 WIB
Bagikan Berita ini :

PETRUK JADI RATU: RESPON RAKYAT KEPADA SISTEM YANG BUSUK

tscom_news_photo_1748486152.jpg
(Sumber foto : )

Petruk, dalam jagat pewayangan, bukan cuma badut. Ia adalah tubuh sosial rakyat: jenaka tapi getir, miskin tapi jernih, awam tapi bersuara. Ketika Petruk menjadi ratu, lakon itu seperti parodi sejarah — rakyat menduduki kursi kekuasaan, dan dunia pun jungkir balik. Dalam tafsir yang sering dikutip, lakon Petruk Jadi Ratu adalah satire terhadap keterbalikan dunia: bahwa kekuasaan di tangan orang biasa hanya akan menciptakan kekacauan, dan tatanan harus dipulihkan.

Tapi di tangan yang jeli, lakon ini menyimpan ironi yang lebih dalam. Petruk bukan simbol ketidaksesuaian, melainkan perlawanan. Sebuah jeda dalam sejarah, ketika sistem yang busuk tak sanggup menolak suara marah dari bawah. Petruk — yang mewakili rakyat banyak — tidak sedang merebut kekuasaan, melainkan menunjukkan bahwa kekuasaan bisa dicemari oleh siapa saja, bahkan oleh mereka yang tak berasal dari lingkaran elite.

Jokowi, dalam awal kemunculannya, sering dipadankan dengan Petruk. Ia datang dari Solo, bukan dari kalangan priyayi politik, bukan pula anak jenderal atau ketua partai. Ia dipuja sebagai "orang biasa" yang menembus benteng kekuasaan. Narasi itu begitu kuat, begitu menyihir, hingga banyak yang percaya bahwa inilah era baru: saat rakyat memegang tongkat komando.

Tetapi waktu bicara lain. Jokowi, alih-alih menjadi koreksi atas sistem, justru menjadi produk sempurna dari kebusukannya.

Reformasi adalah janji yang dikhianati dari dalam. KPK dilemahkan, pemilu dicurangi, politik diprivatisasi. Demokrasi dijual murah demi stabilitas semu. Dan Jokowi bukan hanya diam terhadap semua itu, ia aktif berperan. Ia membiarkan hukum dipermainkan, meritokrasi dihancurkan, konstitusi dibelokkan. Ia tidak sekadar gagal menjaga api reformasi — ia memadamkannya dengan tangannya sendiri.

Yang lebih menyakitkan, ia melakukannya bukan untuk kepentingan negara, bukan untuk membangun sistem yang lebih kuat. Ia melakukannya demi satu hal: keluarga dan kelompoknya sendiri. Narasi rakyat kecil yang melawan elite ternyata hanya kedok dari ambisi nepotistik yang mengakar. Putranya dijadikan wakil presiden melalui jalan pintas konstitusional. Menantunya dijadikan kepala daerah tanpa pengalaman berarti. Ini bukan drama pembebasan rakyat. Ini adalah drama perampasan demokrasi oleh keluarga.

Dengan begitu, Jokowi bukan Petruk yang mengacaukan tatanan demi kemurnian moral rakyat. Ia adalah bagian dari mekanisme kekuasaan yang merusak, bahkan lebih lihai dari elite lama. Sebab ia tahu memainkan simbol, tahu membungkus kepentingan pribadi dengan bahasa kerakyatan.

Maka kita harus hati-hati. Menyalahkan sistem semata — tanpa menunjuk aktor yang menggunakannya untuk memperkuat dirinya sendiri — adalah cara lain untuk membiarkan kekuasaan terus berbuat sewenang-wenang. Jokowi bukan korban sistem. Ia pelaku. Ia operator sistem itu. Bahwa ia berasal dari bawah tidak berarti ia membawa suara bawah. Ia membawa dirinya sendiri.

Namun demikian, akar masalahnya tetap struktural. Bahwa seorang seperti Jokowi bisa berkuasa, dan tetap bertahan setelah menyalahgunakan kepercayaan rakyat, menandakan bahwa sistem kita tidak punya mekanisme pertahanan. Tidak ada check and balance yang bekerja. Tidak ada budaya akuntabilitas yang mengakar. Pemilu kita tidak lebih dari kontestasi uang dan pencitraan. Sistem politik kita telah kehilangan diferensiasinya: hukum tunduk pada politik, politik tunduk pada patron, patron tunduk pada modal.

Inilah yang harus dibenahi — bukan semata-mata mengganti presidennya.

Sebab dalam sistem yang sehat, seseorang seperti Jokowi — dengan semua pengkhianatannya terhadap etika publik — akan segera dikoreksi. Ia tidak akan punya ruang untuk menempatkan anaknya dalam jabatan publik tanpa dasar keadilan. Ia tidak akan bisa meredam kritik melalui tekanan hukum. Ia tidak akan bisa memanipulasi wacana publik dengan propaganda murahan.

Tetapi di sini, semua itu terjadi — dan dianggap biasa. Maka bukan hanya pemimpinnya yang bermasalah, melainkan juga masyarakat politik yang membiarkannya. Media, partai, birokrasi, bahkan banyak dari kita, ikut terperangkap dalam ilusi. Ilusi bahwa rakyat telah menang, padahal sesungguhnya rakyat hanya diperalat untuk melegitimasi perebutan kekuasaan oleh dinasti baru.

Jokowi adalah gejala, tapi ia juga simbol. Bukan simbol harapan, tapi simbol bagaimana sistem demokrasi bisa dibajak oleh mereka yang tahu cara menyamar. Ia adalah tanda bahwa musuh demokrasi tak selalu datang dengan sepatu laras. Kadang ia datang dengan baju kotak-kotak.

Lalu bagaimana kita memperbaiki ini?

Pertama, kita harus keluar dari kultus individu. Tak ada pembebas tunggal. Tak ada pemimpin suci. Yang bisa menyelamatkan kita dari kemerosotan politik adalah sistem yang bekerja: hukum yang kuat, media yang bebas, masyarakat sipil yang kritis, dan pemilu yang benar-benar jujur.

Kedua, kita harus berani mengatakan bahwa demokrasi tak cukup hanya prosedural. Kita butuh demokrasi substantif — di mana kekuasaan tunduk pada akal publik, dan setiap penyalahgunaan wewenang dihukum secara politik maupun hukum.

Ketiga, dan ini yang paling sulit: membangun kembali kepercayaan. Tapi bukan kepada elite, melainkan kepada diri sendiri sebagai warga. Bahwa kita punya kuasa, bukan hanya untuk memilih, tetapi juga untuk mengoreksi, mengawasi, dan menolak.

Petruk jadi ratu bukan karena ia ingin berkuasa. Ia jadi ratu karena sistem sedang goyah, dan suara rakyat terlalu kuat untuk ditekan. Tapi ketika suara itu tidak dijaga, dan kekuasaan tidak dibatasi, maka Petruk bisa berubah — dari rakyat yang marah menjadi penguasa yang manipulatif.

Dan pada titik itulah, rakyat harus bersuara kembali.===

Cimahi, 27 Mei 2025

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

DI ANTARA TUBUH DAN PIKIRAN

Oleh Radhar Tribaskoro The BRAIN Institute
pada hari Jumat, 30 Mei 2025
Ada sebuah ironi yang indah dalam kata-kata. Terutama jika kata-kata itu datang dengan senyuman tipis dan nada suara yang seolah tak pernah marah—seperti suara Rocky Gerung saat mengomentari ...
Opini

Kesadaran dan Keunikan Manusia: Sebuah Renungan Filsafat

Dalam semesta yang luas dan penuh misteri ini, manusia hadir sebagai makhluk yang tidak hanya hidup, tetapi juga menyadari bahwa ia hidup. Ia tidak sekadar ada, tetapi bertanya mengapa ia ada. Di ...