"Politik adalah seni kemungkinan, dan kesabaran adalah senjata paling tajam seorang negarawan."
— Otto von Bismarck
Presiden Prabowo Subianto saat ini berada dalam posisi yang sangat unik dalam sejarah republik. Ia menjadi presiden hasil konsolidasi kekuatan besar, namun juga menjadi pemegang mandat untuk membenahi kerusakan sistemik yang diwariskan pemerintahan sebelumnya. Dalam istilah peribahasa Jawa, Prabowo sedang "makan bubur panas"—harus sabar memulai dari pinggir, agar tidak terbakar oleh panasnya warisan kekuasaan lama, khususnya yang berpusat di lingkaran kekuasaan Solo.
Langkah-langkah awal Presiden Prabowo menunjukkan kecenderungan hati-hati, terukur, bahkan diplomatis terhadap jaringan kekuasaan sebelumnya. Namun kehati-hatian ini bukan berarti kelemahan. Ia tampaknya memahami bahwa perubahan yang efektif tidak lahir dari kemarahan, tapi dari kalkulasi yang presisi.
Korupsi Geng Solo: Luka yang Mulai Dibuka
Berbagai kasus dugaan korupsi yang selama ini ditutupi mulai terkuak. Media mulai berani mengangkat kembali laporan tentang penyalahgunaan kewenangan di tubuh BUMN, proyek-proyek fiktif, hingga bisnis digital yang terafiliasi dengan lingkaran kekuasaan.
Menurut Prof. Mahfud MD, mantan Menkopolhukam dan guru besar hukum tata negara, “Pemerintahan yang baru harus menunjukkan bahwa negara tidak tunduk pada kartel kekuasaan. Kalau tidak, kita hanya mengganti wajah, bukan mengubah sistem.”
Prabowo tampaknya menyadari hal ini. Namun ia tidak bertindak gegabah. Ia memilih pendekatan ‘dari pinggir’—membiarkan hukum bekerja, memberi sinyal ke aparat penegak hukum, sambil menjaga stabilitas. Karena yang ia hadapi bukan hanya segelintir elite, tapi jaringan patronase yang telah tumbuh selama satu dekade lebih.
Prabowo antara Bung Karno dan Pak Harto
Banyak pengamat menilai bahwa Prabowo sedang meramu dua warisan besar: nasionalisme ideologis ala Bung Karno dan manajemen kekuasaan ala Soeharto.
Menurut Dr. Burhanuddin Muhtadi, Direktur Indikator Politik Indonesia, “Prabowo saat ini mencoba menciptakan figur ‘negarawan kuat’ dengan legitimasi sejarah dan kepemimpinan tegas. Ia sedang membangun kredibilitas sebagai penyelamat republik, bukan sekadar penerus Jokowi.”
Dari Bung Karno, Prabowo meniru narasi persatuan nasional, keberpihakan kepada rakyat kecil, dan semangat berdikari. Dari Pak Harto, ia mengambil sistem kendali atas birokrasi, aparat keamanan, dan sumber daya ekonomi negara. Tapi yang sedang ia lakukan sekarang adalah penyelarasan: tidak mengulang kediktatoran, tapi juga tidak tunduk pada liberalisme ekonomi yang melemahkan kedaulatan nasional.
Danantara: Pelepasan BUMN dari Politik
Salah satu langkah konkret Prabowo adalah pembentukan holding strategis bernama Danantara. Langkah ini dipandang sebagai upaya memisahkan urusan bisnis negara dari intervensi politik.
Dr. Faisal Basri, ekonom senior, menilai bahwa “BUMN kita terlalu sering menjadi sapi perah politik. Jika Danantara bisa benar-benar independen, itu langkah monumental. Tapi syaratnya, jangan ada politisi di balik layar.”
Memang, terlalu dini untuk menilai efektivitas Danantara. Namun langkah ini memperlihatkan kehendak Prabowo untuk meletakkan fondasi tata kelola yang lebih sehat bagi BUMN. Danantara bisa menjadi "perisai" bagi profesionalisme dan efisiensi, jika diberi ruang untuk bertindak tanpa tekanan politik.
Soal Wapres: Tak Perlu Terjebak Perdebatan Rendah
Banyak pihak mencemooh pilihan Prabowo yang menggandeng Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden. Kritik datang dari aspek etika konstitusi, kualitas, hingga dugaan praktik nepotisme.
Namun Prabowo tampaknya tak ingin larut dalam perdebatan itu. Ia memilih untuk bersikap tenang dan tidak membuka ruang polemik lebih lanjut.
“Ini bukan soal Gibran. Ini soal bangsa. Jangan buang waktu pada hal yang tidak produktif,” ucap Prof. Saldi Isra, Hakim Konstitusi, saat menjadi pembicara dalam sebuah seminar pasca-Pilpres.
Presiden Prabowo tampaknya memaknai kehadiran Gibran sebagai fakta politik, bukan sentral kekuasaan. Dengan demikian, ia lebih memilih fokus pada agenda besar: reformasi birokrasi, kedaulatan energi, ketahanan pangan, dan penguatan supremasi hukum.
Penutup: Di Ujung Sendok Sejarah
Prabowo kini berada di ujung sendok sejarah. Ia punya pilihan: menjadi presiden yang menyenangkan semua kekuatan lama, atau menjadi negarawan yang menyeberang ke masa depan dengan keberanian moral dan visi strategis.
Makan bubur panas dari pinggir memang pilihan yang bijak. Tapi pada saatnya, ia harus masuk ke inti bubur itu—panas, menyakitkan, tapi menentukan masa depan bangsa. Jika ia terus bermain aman, ia akan tergelincir menjadi pengaman kekuasaan lama. Namun jika ia berani melangkah ke tengah, ia bisa dikenang sebagai pemimpin yang mengembalikan republik ke jalan kejujuran dan kedaulatan sejatinya.
Dan itulah yang ditunggu rakyat hari ini.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #