Oleh Radhar Tribaskoro The BRAIN Institute pada hari Jumat, 30 Mei 2025 - 18:58:43 WIB
Bagikan Berita ini :

DI ANTARA TUBUH DAN PIKIRAN

tscom_news_photo_1748606323.jpg
(Sumber foto : )

Ada sebuah ironi yang indah dalam kata-kata. Terutama jika kata-kata itu datang dengan senyuman tipis dan nada suara yang seolah tak pernah marah—seperti suara Rocky Gerung saat mengomentari Sekolah Kebangsaan Dedi Mulyadi. Ia menyebutnya sebagai proyek "pendisiplinan tubuh". Bukan pikiran. Bukan akal. Bukan refleksi. Katanya, bangsa ini tak kekurangan otot, tapi kekurangan tafsir.

Sebuah sarkasme yang memikat. Dan mungkin menyesakkan.

Dalam ujaran itu, tersimpan keyakinan lama: bahwa kebebasan adalah produk pikiran yang liar. Bahwa tubuh, jika didisiplinkan, tak lebih dari alat kekuasaan. Bahwa taat adalah tanda tunduk, dan tunduk adalah awal dari penindasan. Bahwa kekuasaan yang mengatur cara kita berdiri, berjalan, atau menyusun tempat tidur, sedang menyiapkan panggung untuk totalitarianisme baru.

Tapi mari kita tanya: benarkah tubuh sedemikian pasif, sedemikian tak berdaya, sedemikian tak berpikir?

Michel Foucault barangkali setuju dengan Rocky. Dalam bukunya, "Discipline and Punish", tubuh didisiplinkan agar menjadi patuh. Penjara, rumah sakit, dan barak adalah laboratorium kekuasaan. Di sana, tubuh diseragamkan. Gerakannya dikendalikan. Jam tidurnya diatur. Ia tak lagi bebas.

Tapi apakah setiap pendisiplinan tubuh adalah tirani?

Saya pikir tidak. Karena tubuh bukan hanya objek kekuasaan. Ia juga subjek dari perubahan. Dalam laku tubuh yang konsisten, justru lahirlah pola, keteraturan, dan pengendalian diri. Dan dalam banyak budaya—termasuk budaya kita—pembentukan jiwa dimulai dari kebiasaan. Dari ritme. Dari jeda. Dari duduk bersila yang lama. Dari sunyi yang tak tergesa.

Apa yang disebut Rocky sebagai "pendisiplinan tubuh", dalam kenyataan Sekolah Kebangsaan, bisa dibaca lain: sebagai pembentukan karakter lewat ketekunan. Tapi lebih dari itu, sebagai proses rehabilitasi. Karena anak-anak yang masuk ke Sekolah Kebangsaan bukan anak-anak biasa. Mereka disebut "anak-anak nakal" oleh masyarakat. Anak-anak yang mungkin pernah terlibat tawuran, mencuri, atau sekadar putus sekolah karena tak kuat dengan sistem. Sekolah ini bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat kembali. Tempat memulihkan rasa percaya diri. Tempat membangun ulang jembatan dengan dunia.

Saya tahu, ini bukan disiplin Prancis ala Foucault. Ini juga bukan sekolah militer. Ini bukan barak dengan teriakan komandan. Tapi juga bukan karnaval intelektual seperti yang dibayangkan Rocky.

Dedi Mulyadi, dengan segala kontroversinya, sedang menegaskan: bahwa pendidikan tak cukup hanya membentuk pikiran, tapi juga tubuh. Dan lebih dari itu: membentuk kebiasaan. Mengubah cara hidup. Menanamkan rasa tanggung jawab yang konkret—bukan hanya konsep-konsep abstrak tentang republik dan filsafat kemerdekaan.

Kita bisa menarik perspektif dari Paulo Freire. Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, Freire mengkritik model pendidikan gaya bank, di mana murid dianggap wadah kosong yang harus diisi. Ia menekankan bahwa pendidikan adalah proses pembebasan, di mana subjek—yakni peserta didik—harus dilibatkan secara sadar dan aktif. Tapi Freire juga percaya bahwa pembebasan tidak mungkin terjadi tanpa kesadaran yang dibentuk lewat praksis: refleksi dan aksi.

Sekolah Kebangsaan, dalam bentuknya yang paling sederhana, adalah praksis. Anak-anak tidak hanya diajak berpikir, tapi juga diajak hidup secara lebih teratur, lebih bersih, lebih peduli. Mereka menyapu lantai, menyusun sepatu, bangun pagi tepat waktu. Itu bukan indoktrinasi. Itu adalah latihan menjadi warga. Karena sebelum bisa bicara tentang demokrasi, seseorang harus bisa mengatur dirinya sendiri.

Tentu, kita boleh curiga pada kekuasaan. Kita harus. Tapi jangan cepat menganggap semua bentuk pengaturan sebagai upaya dominasi. Kadang, kekuasaan bekerja dalam bentuk yang lebih halus: sebagai panggilan. Sebagai teladan. Sebagai laku hidup yang bisa ditiru.

Saya teringat pepatah Latin yang sering dikutip para pendidik klasik: Mens sana in corpore sano—jiwa yang sehat ada dalam tubuh yang sehat. Bukan sebaliknya. Dalam banyak kebudayaan Timur, guru tak mengajar lewat ceramah. Ia mengajar lewat cara duduk, cara menyapu lantai, cara menyusun sandal.

Disiplin tubuh, dengan demikian, bukan penindasan, melainkan metode. Bukan dominasi, tapi jalan sunyi menuju pemahaman. Ia melatih kita menahan lapar, menahan marah, menahan keinginan untuk segera menghakimi. Dan siapa tahu, dari kebiasaan itu, lahir keberanian untuk berpikir dengan jernih.

Saya paham Rocky ingin sekolah yang melahirkan pemikir. Tapi apakah pemikir harus selalu liar? Apakah kreativitas lahir dari kekacauan, dari tubuh yang tak kenal aturan, dari ruang belajar yang tanpa batas? Atau justru pemikir lahir dari kebiasaan diam, dari ritual harian yang melatih kesadaran?

Goethe menulis puisi-puisinya yang agung bukan di tengah keributan. Tapi dalam keteraturan. Immanuel Kant berjalan kaki setiap pagi pada jam yang sama, seperti jarum jam kota. Dan dari tubuh yang teratur itu, lahirlah gagasan yang mengguncang dunia.

Sekolah Kebangsaan bukan utopia. Mungkin juga bukan solusi jangka panjang. Tapi ia adalah ikhtiar untuk membawa kembali rasa hormat kepada kebiasaan baik. Dalam dunia yang kian riuh, kian sinis, kian dangkal, barangkali kita memang perlu kembali ke hal-hal dasar. Seperti menyapu halaman, mencuci piring sendiri, atau sekadar berdiri tegak saat bendera dinaikkan.

Bagi Rocky, itu mungkin pertunjukan. Visualisasi. Spektakel.

Tapi bagi saya, itu bisa jadi jalan pulang.

Saya tak hendak membela Dedi Mulyadi sepenuhnya. Ia juga bagian dari dunia politik, dengan segala godaannya. Tapi ia mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan hanya tentang debat dan bacaan. Tapi juga tentang laku. Tentang habitus. Tentang cara berjalan dan cara memandang orang lain.

Jika tubuh telah terdidik, barangkali pikiran akan menyusul. Sebab tubuh yang tahu malu, tubuh yang tahu rasa, tak akan mudah menindas. Tak akan gampang mencuri. Tak akan cepat marah di media sosial.

Di masa ketika kata-kata begitu murah, dan kemarahan begitu mudah, kita perlu pendidikan yang mendalam. Dan dalam. Pendidikan yang tak hanya bicara soal "apa itu keadilan", tapi juga membuat kita mengantri dengan sabar. Yang tak hanya mengutuk korupsi, tapi juga mengajarkan mencuci kamar mandi dengan tangan sendiri.

Disiplin tubuh adalah pendahulu dari disiplin berpikir. Ia bukan bentuk perbudakan, tapi prasyarat bagi kebebasan.

Saya kira itu yang terlupakan oleh Rocky. Atau barangkali, sengaja disarkasikan olehnya. Tapi saya memilih percaya, bahwa tubuh bukan sekadar wadah. Ia adalah sekolah pertama. Ia adalah medan tafsir yang diam. Dan kadang, diam itulah yang paling keras berbicara.===

Cimahi, 30 Mei 2025

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Kesadaran dan Keunikan Manusia: Sebuah Renungan Filsafat

Oleh Ariady Achmad dan Team teropongsenayan.com
pada hari Jumat, 30 Mei 2025
Dalam semesta yang luas dan penuh misteri ini, manusia hadir sebagai makhluk yang tidak hanya hidup, tetapi juga menyadari bahwa ia hidup. Ia tidak sekadar ada, tetapi bertanya mengapa ia ada. Di ...
Opini

MENGAPA KITA BUTUH DISRUPTIVE BUREAUCRAT

Dalam dunia birokrasi yang kaku, lamban, dan penuh tata cara formal yang sering kali mematikan semangat perubahan, sosok disruptive bureaucrat muncul seperti badai yang membelah kesunyian. Mereka ...