
Jakarta, TEROPONGSENAYAN.COM - “Sejarah ditulis oleh para pemenang.” Kalimat yang sering kita dengar itu terdengar sederhana, tetapi di baliknya tersembunyi makna yang dalam. Ia mengandung kenyataan pahit yang menyakitkan bahwa sejarah kerap lebih tunduk pada tangan dan perpanjangan tangan kekuasaan daripada nurani manusia.
Ada buku terkenal dari seorang sejarawan, penulis, dan aktivis sosial Amerika, Howard Zinn. Judulnya A People’s History of the United States. Di sini Zinn mengatakan bahwa sejarah resmi seringkali hanyalah cermin dari pandangan mereka yang berkuasa. Suara yang kalah, seperti rakyat kecil, buruh, perempuan, dan mereka yang dibungkam, disingkirkan dari narasi besar bangsa. Maka, ia menyebut sejarah sebagai “perjuangan antara ingatan dan pelupaan.”
Namun kini, pelupaan tidak selalu datang dengan represi terbuka. Ia bisa hadir dengan wajah yang lebih halus — melalui angka, survei, dan statistik yang seolah-olah objektif. Padahal di balik metodologi dan istilah ilmiah, survei juga bisa menjadi alat pengaturan persepsi. Ia mampu mengarahkan apa yang dianggap umum, wajar, atau bahkan benar. Maka tak heran jika survei kerap dipelesetkan menjadi "sure-pay".
Dalam ruang politik, survei inilah yang sering bekerja, bukan hanya untuk memotret opini publik, tetapi juga membentuknya. Sekali lagi saya sebutkan: membentuknya. Ketika hasil tertentu diumumkan berulang kali, sebagian orang mulai mempercayainya. Mereka percaya bukan karena yakin, melainkan karena terbiasa mendengar. Repetisi mengubah keraguan menjadi keyakinan.
Angka-angka itu lalu bekerja diam-diam: mengukuhkan citra, memoles nostalgia, dan menata masa lalu agar tampak bersih. Dalam ruang yang tak bebas dengan pengaruh kemajuan teknologi, algoritma pun dengan cepat membentuk dan membingkai. Semua saling berkelindan untuk memberi kesan "ilmiah" pada sesuatu yang sesungguhnya sarat kepentingan kekuasaan. Survei pun dapat menciptakan kesepakatan semu: semacam “kebenaran yang disetujui bersama,” padahal dibangun dari arah yang ditentukan.
Maka, ketika angka menggantikan ingatan, sejarah pun perlahan kehilangan nyawanya. Yang pahit memudar, yang manis diperindah. Masa lalu pun dibungkus ulang menjadi kisah yang menenangkan bagi mereka yang ingin dikenang tanpa noda.
Namun memori kolektif tak mudah ditundukkan. Tak pernah. Ia hidup dalam percakapan yang kecil, dalam catatan yang tak tercetak, dalam ingatan yang terus diwariskan dengan bisu namun jernih. Ia tidak membutuhkan survei untuk tahu siapa yang menindas dan siapa yang bertahan.
Mengapa? Karena ingatan rakyat tidak mencari angka, melainkan kebenaran. Dan kebenaran, sekeras apa pun ia disembunyikan, akan menemukan jalannya sendiri.
Kita tidak memerlukan pahlawan yang diciptakan dari statistik. Kita memerlukan ingatan yang berani menatap masa lalu tanpa filter, tanpa warna merah muda, tanpa manipulasi angka. Inilah salah satunya yang menentukan kedewasaan suatu bangsa. Kedewasaan itu diukur bukan dari siapa yang diagungkan, melainkan dari sejauh mana kita sanggup mengakui luka sejarah tanpa menutupinya.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #