> “Korupsi bukan hanya soal uang, tetapi soal mentalitas dan pengkhianatan terhadap masa depan generasi bangsa.”
— Prof. Dr. Margarito Kamis, Ahli Hukum Tata Negara
TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, kini tengah menjadi sorotan tajam publik dan lembaga penegak hukum. Pria yang dikenal sebagai pendiri Gojek itu kini berada dalam pusaran tiga kasus dugaan korupsi besar yang menyasar program andalannya: digitalisasi pendidikan nasional. Tiga proyek strategis—pengadaan Chromebook, layanan Google Cloud, dan bantuan kuota internet gratis untuk siswa dan guru—dalam rentang waktu 2020–2023, menjadi titik investigasi Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
I. Kronologi Kasus dan Rangkaian Investigasi
1. Pengadaan Chromebook – Rp9,9 Triliun
Kejagung menetapkan empat tersangka per 15 Juli 2025, di antaranya:
Jurist Tan (eks Staf Khusus Mendikbudristek),
Ibrahim Arief (eks Pejabat Pembuat Komitmen),
Sri Wahyuningsih (eks Dirjen PAUD Dikdasmen),
Mulyatsyah (eks Kepala Biro Keuangan Kemendikbudristek).
Pengadaan Chromebook tahun 2021–2023 melibatkan anggaran Rp9,9 triliun dan didistribusikan ke lebih dari 77.000 sekolah dengan total lebih dari 1,1 juta perangkat.
Namun, hasil audit internal Kejagung dan LHP BPK mengungkap:
Banyak perangkat tidak sesuai spesifikasi atau tidak terpakai.
Markup harga per unit.
Dugaan persekongkolan dalam tender.
Dugaan pengambilan keputusan yang diarahkan dari lingkaran staf khusus menteri.
2. Layanan Google Cloud
KPK menyelidiki dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan layanan Google Cloud Platform (GCP) sebagai basis penyimpanan data pendidikan digital nasional. Proyek ini dilaporkan tidak melalui lelang terbuka dan berpotensi melanggar prinsip efisiensi serta pengelolaan data strategis negara oleh perusahaan asing.
3. Bantuan Kuota Internet Gratis – Potensi Kerugian Rp1,5 Triliun
Program ini dilaksanakan untuk mendukung pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi. Data BPK dan laporan investigatif media menyebut:
Banyak nomor penerima tidak aktif atau ganda.
Distribusi kuota tidak dipakai, namun tetap dibayar oleh negara.
Potensi kerugian negara: Rp1,5 triliun.
Proyek ini diduga terkait erat dengan ekosistem digital Chromebook dan layanan cloud yang digunakan.
II. Pendapat Pakar Hukum: “Tanggung Jawab Menteri Tidak Bisa Dilepaskan”
Menurut Prof. Dr. Margarito Kamis, pakar hukum tata negara:
> “Dalam tata kelola anggaran kementerian, tanggung jawab utama tetap ada pada Menteri sebagai pemegang kekuasaan anggaran pengguna akhir. Meski bukan pelaksana teknis, jika menteri tidak mengawasi proses pengadaan dan membiarkan tindakan koruptif, itu bisa dikategorikan sebagai pembiaran aktif.”
Hal senada disampaikan Dr. Erwin Natosmal Oemar, Direktur PUKAT UGM:
> “Praktik digitalisasi pendidikan semestinya membawa transparansi. Namun jika justru menyembunyikan monopoli, proyek ini bisa dikualifikasi sebagai korupsi sistemik yang menyalahgunakan teknologi untuk pembenaran anggaran."
III. Menyoal Argumentasi Pembelaan Nadiem
Dalam jumpa pers 10 Juni 2025, Nadiem Makarim didampingi pengacaranya, Hotman Paris Hutapea, menyatakan:
Harga Chromebook saat itu 10–30% lebih murah dari harga pasar.
ChromeOS adalah sistem operasi tanpa biaya lisensi.
Chromebook telah digunakan di 1,1 juta unit sekolah.
Namun pernyataan tersebut berseberangan dengan temuan:
Beberapa sekolah tidak menerima perangkat sesuai jumlah yang dianggarkan.
Banyak perangkat rusak atau tidak bisa digunakan karena spesifikasi tidak cocok dengan kebutuhan pembelajaran.
Distribusi perangkat tak merata antara sekolah negeri dan swasta, kota dan daerah tertinggal.
IV. Ketika Ekosistem Digital Berujung Skandal
Ketiga proyek ini dirancang sebagai satu kesatuan ekosistem: perangkat keras (Chromebook) + platform penyimpanan (Google Cloud) + akses internet (kuota). Ironisnya, sistem yang semestinya memberdayakan siswa dan guru di masa krisis justru kini menjadi ladang bancakan korupsi.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), kunci lemahnya sistem ini terletak pada:
Minimnya partisipasi publik dalam penyusunan program.
Tidak adanya evaluasi terbuka atas efektivitas penggunaan alat bantu digital.
Sentralisasi keputusan pada lingkaran elite di kementerian, tanpa kontrol DPR dan masyarakat sipil.
V. Catatan Kritis: Pengingat Bagi Kabinet Baru
Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan akan meninjau ulang program digitalisasi pendidikan. Publik berharap peninjauan ini tidak hanya pada aspek anggaran, tetapi juga pada pembenahan sistem pengawasan dan akuntabilitas di kementerian.
Ke depan, evaluasi kebijakan seperti ini menjadi penting agar:
Transformasi digital tidak berubah menjadi proyek elite.
Data siswa dan guru tidak dikelola perusahaan asing tanpa kendali negara.
Anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari APBN (±Rp665 triliun tahun 2025) benar-benar menyentuh kebutuhan dasar pendidikan.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #