Oleh Try Sutrisno pada hari Rabu, 23 Jul 2025 - 12:31:00 WIB
Bagikan Berita ini :

11 Wejangan Kebangsaan

tscom_news_photo_1753248660.jpg
Wakil Presiden RI ke-6 dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (1988-1993) (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --11 Pokok Pikiran yang saya sebut wejangan kebangsaan ini saya sampaikan ketika saya diminta menjadi pembicara kunci dalam simposium memperingati Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan tema Kembali ke UUD 1945 yang diselenggarakan oleh Presidium Konstitusi di Universitas Jayabaya di Jakarta pada 15 Juli 2025.

Wejangan pertama: Di tengah pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik, bahwa dinamika tersebut -- selain menimbulkan gejolak ekonomi dan militer dunia, juga membuahkan perubahan rezim unipolar ke multipolar. Oleh karena itu, setiap negara ditantang untuk menjawabnya sesuai dengan fondasi, visi dan misi negara itu sendiri dengan mengutamakan kepentingan nasionalnya.

Indonesia di satu sisi, dinilai banyak entitas global sebagai episentrum pergeseran tersebut karena faktor geoposisi silang di antara dua benua dan samudra, disamping kekayaan alam yang berlimpah, pasar yang potensial karena faktor demografi, tempat memutar ulang kapital dan seterusnya.

Namun pada sisi lain, masih dijumpai kemiskinan di sana-sini, segelintir elit menguasai 50-an persen kekayaan nasional, eskalatif harga kebutuhan publik, daya beli menurun, utang menggunung dan lain-lain. Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ada paradoks menghantui Ibu Pertiwi;

Wejangan kedua: Semenjak UUD 1945 karya Pendiri Bangsa diamandemen empat kali pada tahun 1999 hingga 2002 oleh para oknum reformis, seketika konstitusi kita berubah menjadi materialis-hedonis, individualis, liberal dan kapitalistik. Itu titik awal akar masalahnya. Bahkan, praktik konstitusi sekarang telah meninggalkan Pancasila selaku Norma Hukum Tertinggi dan mengabaikan Pancasila sebagai Philosophische Grondslag;

Wejangan ketiga: Yang terjadi pada tahun 1999 hingga 2002 itu bukanlah proses amandemen atau penyempurnaan UUD, namun yang terjadi adalah penggantian konstitusi. Menurut penelitian Prof Kaelan dari UGM, selain 97 persen pasal-pasal di Batang Tubuh telah diganti, Bab Penjelasan dihapus total, juga antara Pembukaan dengan Batang Tubuh kini sudah tak nyambung lagi.

Jadi, UUD NRI 1945 atau kerap disebut UUD 2002 telah menghasilkan deformasi (bukan reformasi) pada tatanan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Amandemen empat kali justru mengobrak-abrik konstitusi. Bukan hanya merusak tatanan bernegara, tapi juga telah merusak modal sosial, modal politik, modal ekonomi dan modal kultural bangsa Indonesia;

Wejangan keempat: Ketika UUD NRI 1945 ditandatangani pada tanggal 10 Agustus 2002 lalu, sejak saat itulah rakyat sudah tidak lagi berdaulat. Hal ini ditandai oleh beberapa hal, antara lain:
1. Diturunkannya derajat dan status MPR-RI dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi setingkat BPK, MK, DPR, DPD dan lainnya.
2. ⁠MPR-RI sekarang bukan lagi lembaga penjelmaan kedaulatan rakyat dimana seharusnya rakyat adalah pemilik kedaulatan tertinggi. Karena MPR saat ini hanya berisi anggota DPR dan DPD yang dipilih dalam pemilihan umum, sedang keterwakilan Utusan Golongan dan Utusan Daerah sudah dihapus.
3. ⁠Tidak ada lagi GBHN yang merupakan Peta Jalan dalam pembangunan di negara ini.
4. ⁠Adanya Pasal 6A Ayat (2) dalam UUD NRI 1945 yang memposisikan partai politik sebagai satu-satunya entitas pemegang kekuasaan di republik ini.
5. ⁠Kerancuan makna dan hakikat otonomi seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan kekacauan amanah Pasal 33 Ayat (4) tentang Demokrasi Ekonomi yang muatan dasarnya adalah korporatisme. Hal ini meluruhkan Ekonomi Konstitusi yang pijakan dasarnya terdapat pada Pembukaan UUD 1945.
6. ⁠Praktik UUD NRI 1945 alias UUD 2002 telah mengubah kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik. Maka, konsekuensi logis dan implikasinya muncul apa yang disebut POLITISASI di semua lini.

Dan politisasi akan menimbulkan intervensi, kriminalisasi, kapitalisasi dan lain-lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Presiden pun menerjemahkan pemegang kekuasaan tertingginya sebagai I"m the Law. Itulah authoritarian legalism yang berdampak pada hukum dijualbelikan, sehingga keadilan sosial hanya milik pemegang kekuasaan politik dan bisnis.

Wejangan kelima: Ibarat orang berjalan, bangsa ini telah tersesat jauh akibat mengabaikan dan meninggalkan konstitusi warisan Pendiri Bangsa. Muncul beragam propaganda dan agitasi, contoh, adanya framing di publik, bahwa jika kembali ke UUD 1945 asli identik dengan kembali ke era Orde Baru. Hal itu merupakan cara pandang terbatas dan keliru.

SALAH BESAR. Kenapa? Sebab, baik Orde Lama maupun Orde Baru sebenarnya belum melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Banyak manipulatif di sana-sini atas nama program dan situasional. Terlebih lagi pada Orde Reformasi, tak lagi sekadar manipulatif, tapi malah disimpangkan secara brutal melalui sistem bernegara baru;

Wejangan keenam: Secara de jure, bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 masih berlaku, karena MPR-RI masa bakti 1999-2004 pimpinan Amien Rais saat menetapkan UUD NRI 1945 tanggal 10 Agustus 2002 tidak pernah mencabut Dekrit Presiden 1959. Bahkan, Ketetapan MPR tidak bernomor itu telah menyamakan makna, hakikat dan kedudukan UUD NRI 1945 tanggal 10 Agustus 2002 ADALAH UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh DPR.

Pernyataan ini juga menunjukkan bukti bahwa UUD 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945 adalah Naskah Asli. Karenanya, ini merupakan jawaban bagi pihak-pihak yang mempertanyakan, "Mana UUD Naskah Asli?" Dengan demikian, Ketetapan MPR-RI itu memberlakukan dua konstitusi, yakni UUD 1945 Naskah Asli dan UUD NRI 1945 atau UUD 2002, walaupun UUD 2002 dalam praktiknya merupakan constitutional de facto.

Justru dengan Ketetapan MPR ini lahir berbagai kerancuan kehidupan berbangsa dan bernegara serta timbunan persoalan yang tak terselesaikan secara tuntas. Ini tidak memenuhi rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

Wejangan ketujuh: Dalam proses kembali ke konstitusi warisan Pendiri Bangsa, tidak boleh dilakukan sepenggal-sepenggal, jangan setengah-setengah. Misalnya, kembali ke UUD Naskah Asli, tetapi Pemilihan Presiden masih secara langsung alias one man one vote; atau, mengaktifkan MPR hanya untuk GBHN dan sebagainya;

Wejangan kedelapan: Mekanisme kaji ulang konstitusi, mutlak harus kembali dulu ke Naskah Asli sesuai rumusan Pendiri Bangsa. TITIK. Adapun perubahan, penguatan dan/atau penyempurnaan materi konstitusi dalam rangka menyikapi perubahan zaman dilakukan melalui teknik adendum.

Secara hakiki, materi perubahan itulah karya generasi sekarang dengan mempertimbangkan adanya perubahan zaman. Selain kita menyadari pentingnya mengadaptasi dan mengadopsi dinamika alam semesta, sekaligus sebagai pemahaman secara mendalam bahwa UUD 1945 Naskah Asli bukanlah kitab suci yang sempurna;

Wejangan kesembilan, perubahan diletakkan pada lampiran/adendum dengan batu uji UUD 1945, bukan UUD NRI 1945. Kenapa? Bahwa empat kali perubahan UUD yang dilakukan oleh MPR-RI pada masanya, dalam beberapa hal mengandung kontradiksi baik secara teoritis konseptual maupun dalam praktik kenegaraan.

Jadi, tak bisa dijadikan referensi atau batu uji. Maka, oleh karena tidak adanya kerangka acuan atau naskah akademik dalam perubahan UUD itu, menjadi penyebab timbulnya inkonsistensi konsep dan substansi baik yuridis maupun teoritis. Inilah alasan utama kenapa batu uji dalam penyempurnaan nanti harus merujuk pada UUD 1945 Naskah Asli;

Wejangan kesepuluh: Wajib diwaspadai, adanya kode "NRI" pada frasa UUD NRI 1945 itu menghilangkan huruf "K" (Kesatuan). Adapun kode UUD 1945 artinya UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, bukan Negara Republik Indonesia (NRI).

Bangsa ini jangan tertipu lagi seperti pada amandemen 1999 hingga 2002 dulu. Kenapa? Sebab, kode "NRI" tanpa huruf "K" di antara N dan R, bisa dijerumuskan menjadi Negara Republik Serikat, misalnya, atau Negara Republik Federal Indonesia dan lainnya. Jadi, kode NRI perlu diwaspadai, wajib dikawal bersama oleh segenap anak bangsa. Jangan terjerumus lagi;

Wejangan kesebelas: Bahwa NKRI ini didirikan oleh para Pendiri Bangsa dengan semangat wa laa tafaraqqu --janganlah kamu bercerai-berai, janganlah kamu terpecah-belah. Ayat tersebut hadir sebagai petunjuk praktis berbangsa dan bernegara yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Agama manapun tidak memerintahkan bentuk negara, tetapi memberikan prinsip-prinsip dalam bernegara. Prinsip ketuhanan misalnya, atau prinsip keadilan, kemanusiaan dan lainnya.

Penulis adalah Wakil Presiden RI ke-6 dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (1988-1993).

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #try-sutrisno  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Sebuah Refleksi: Anak Semua Bangsa dalam Pangkuan Ibu Pertiwi

Oleh Arie, Aktivis SKUAD INDEMO
pada hari Rabu, 23 Jul 2025
Ada yang terasa timpang dalam gema perayaan Hari Anak setiap tahunnya. Lagu-lagu riang, lomba-lomba permainan tradisional, parade dongeng, serta simbol-simbol lucu menghiasi ruang publik dan digital. ...
Opini

W.S. Rendra: Burung Merak di Tengah Kebisuan Orde Baru

Willibrordus Surendra Broto Rendra—yang akrab disapa W.S. Rendra—bukan sekadar nama besar dalam kesusastraan Indonesia. Ia adalah simbol perlawanan kultural terhadap kekuasaan yang ...