TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, Ketika Negara Tidak Bisa Mengawasi Dirinya Sendiri
Di balik gegap gempita pembangunan infrastruktur transportasi nasional, terselip kisah muram tentang korupsi, manipulasi data, dan praktik bisnis yang merugikan negara. Skandal akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) membuka tabir bobroknya sistem tata kelola di tubuh BUMN. Ini bukan sekadar soal "harga kapal yang dimark-up", melainkan cerminan rusaknya sistem akuntabilitas dan pengawasan dalam pengelolaan aset publik.
Skema Akuisisi yang Sarat Masalah
Pada 20 Oktober 2021, ASDP membeli aset dan saham PT JN senilai Rp1,27 triliun, termasuk puluhan kapal feri yang banyak di antaranya tidak layak operasional. Nilai aset ditentukan berdasarkan laporan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang diduga “diarahkan” oleh pihak internal ASDP agar sesuai dengan kepentingan penjual.
Dalam persidangan, saksi dan penyidik KPK mengungkap bahwa:
Tidak ada studi kelayakan obyektif yang mendasari transaksi besar ini.
Dewan Komisaris tidak diberikan akses penuh terhadap dokumen teknis atau laporan independen.
Tidak ada evaluasi substantif dari Kementerian BUMN maupun Kementerian Perhubungan terhadap urgensi dan kelayakan akuisisi.
Kutipan dari Ahli GCG: “Kita Gagal Menyaring Niat Buruk di Sistem Baik”
Menurut Dr. Nur Hidayat, pakar GCG dan mantan anggota Komite Audit Independen pada salah satu BUMN energi, kasus ASDP adalah contoh bagaimana sistem yang tampaknya sehat bisa dibajak oleh kehendak segelintir elite.
> “BUMN kita memiliki SOP dan regulasi tata kelola yang bagus di atas kertas. Tapi celahnya ada di penyaringan niat. Ketika semua institusi hanya menjalankan prosedur sebagai formalitas, maka tata kelola hanya jadi topeng legalitas bagi keputusan yang sarat kepentingan,” kata Nur Hidayat dalam wawancara dengan TeropongSenayan, 29 Juli 2025.
Ia menambahkan bahwa valuasi oleh KJPP, keputusan direksi, dan restu komisaris menjadi "ritual administratif" yang kehilangan roh transparansi.
Mantan Pejabat BUMN: “Komisaris Hanya Jadi Penonton”
Edy Pranoto, mantan Komisaris Independen di salah satu anak usaha Pelindo, mengaku tidak heran dengan pasifnya Dewan Komisaris dalam kasus ASDP. Dalam pengalamannya, banyak komisaris tidak dibekali informasi cukup untuk mengintervensi proses bisnis strategis.
> “Banyak komisaris hanya datang, rapat, tanda tangan. Selesai. Mereka tidak dilibatkan dalam analisis risiko atau negosiasi akuisisi. Bahkan kalau bertanya terlalu dalam, bisa dianggap mengganggu jalannya direksi,” ujar Edy Pranoto.
Ia mendesak agar ke depan, Komisaris BUMN diberi kewenangan dan sumber daya audit sendiri, termasuk akses langsung ke data internal dan pelibatan konsultan independen.
Komisi VI DPR RI: “Kementerian BUMN Harus Berani Tanggung Jawab”
Andre Rosiade, anggota Komisi VI DPR RI, yang membidangi pengawasan terhadap BUMN, menyatakan bahwa skandal ASDP harus menjadi peringatan keras bagi Kementerian BUMN.
> “Kami mencatat banyak kasus BUMN belakangan ini justru berasal dari keputusan investasi yang ugal-ugalan. Kementerian BUMN tidak bisa hanya jadi penonton. Harus ada approval mechanism yang jelas dan ketat, apalagi kalau nilai transaksinya triliunan,” tegas Andre dalam rapat dengar pendapat Komisi VI (25 Juli 2025).
Andre menekankan pentingnya restrukturisasi sistem pengawasan internal Kementerian BUMN, termasuk penguatan fungsi investigatif dan transparansi ke DPR.
Kesimpulan: BUMN Harus Kembali Menjadi Milik Publik, Bukan Oligarki
Kasus ASDP-Jembatan Nusantara menyadarkan publik bahwa tata kelola di BUMN masih rentan terhadap kepentingan segelintir elit. Dengan sistem yang lemah, prosedur bisa diputarbalikkan menjadi alat legitimasi kejahatan. Negara tampak absen dalam menjaga uang dan aset rakyat.
---
Rekomendasi TeropongSenayan:
1. Audit investigatif lintas sektor terhadap semua akuisisi strategis di BUMN sejak 2019.
2. Penguatan peran Dewan Komisaris dengan Komite Audit Independen yang efektif dan berani.
3. Kementerian teknis seperti Perhubungan harus terlibat aktif dalam asesmen proyek strategis BUMN.
4. Kementerian BUMN wajib membentuk satuan kerja investigasi dan pengendalian risiko independen.
5. Reformasi sistem whistleblower BUMN, dengan jaminan perlindungan dan insentif.
Penutup
Korupsi tidak lahir dari ketiadaan hukum, tapi dari kelengahan pengawasan dan keberpihakan pada kekuasaan. BUMN hanya akan menjadi alat kedaulatan ekonomi jika dikelola dengan akal sehat, kejujuran, dan rasa takut akan pengkhianatan terhadap rakyat.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #