JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi menyampaikan keprihatinan atas kabar viral mengenai produk bumbu khas Indonesia yang dilabeli sebagai ‘berisiko kanker’ di Amerika Serikat (AS). Ia menilai peristiwa ini sebagai ancaman serius terhadap wajah ekspor pangan Indonesia dan potensi krisis kepercayaan terhadap produk UMKM nasional.
"Ini bukan perkara sepele. Ini adalah pukulan telak terhadap wajah ekspor pangan kita, bahkan bisa menciptakan krisis kepercayaan global terhadap produk UMKM Indonesia," kata Nurhadi, Jumat (1/8/2025).
Seperti diketahui, sebuah video yang memperlihatkan bumbu instan asal Indonesia mendapatkan peringatan kanker di pasar California, Amerika Serikat viral di media sosial.
Dalam video itu terekam, bumbu instan merek tertentu diberi label "California Proposition 65 Warning". Namun, bumbu instan lainnya tidak.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Taruna Ikrar menegaskan pihaknya sedang menindaklanjuti terkait hal ini. BPOM disebut belum bisa menanggapi temuan itu sebelum ada hasil penelurusan.
Sebagai informasi, proposisi 65 mewajibkan perusahaan memberikan peringatan kepada warga California tentang paparan signifikan terhadap bahan kimia yang menyebabkan kanker, cacat lahir, atau gangguan reproduksi lainnya.
Bahan kimia ini bisa terdapat dalam produk yang dibeli warga California, di rumah atau tempat kerja mereka, atau yang dilepaskan ke lingkungan. Dengan proposisi 65, warga California bisa membuat keputusan yang tepat tentang paparan mereka terhadap bahan kimia tersebut.
Terkait hal itu, Nurhadi menilai tindakan labelisasi yang dilakukan AS adalah bentuk diskriminasi terhadap warisan kuliner Nusantara. Sebab rempah Indonesia telah terbukti bertahan selama ratusan tahun dan digunakan sebagai bagian dari tradisi makanan sekaligus pengobatan alami.
"Labelisasi sepihak yang mencoreng reputasi rempah dan bumbu Nusantara adalah bentuk diskriminasi pangan! Padahal, selama ratusan tahun, bumbu-bumbu ini menjadi warisan kuliner dan obat alami yang telah melewati waktu dan peradaban,” tuturnya.
“Jika Amerika menyebut itu berbahaya, maka dunia perlu bertanya: di mana posisi keilmuan dan keadilan dagang mereka?” lanjut Nurhadi.
Anggota komisi di DPR yang membidangi urusan kesehatan itu mendesak BPOM bertindak tegas dan tidak berhenti pada sikap reaktif atau normatif. Nurhadi menuntut adanya koordinasi lintas kementerian untuk menyampaikan protes resmi serta membuka kemungkinan audit bersama bila memang terdapat perbedaan standar pengujian.
"Tidak cukup hanya bilang ‘akan dikaji’ atau ‘menyesuaikan’. BPOM harus bertindak ofensif, melibatkan Kemenlu, Kementerian Perdagangan, dan Kemenkes untuk mengirim nota protes resmi, sekaligus membuka ruang audit independen bersama jika memang ada perbedaan standar pengujian," tegasnya.
Lebih lanjut, Nurhadi mengatakan hal ini bukan semata urusan dagang saja, melainkan menyangkut martabat dan kedaulatan bangsa. Bila isu tersebut diabaikan, ia menilai produk khas lain dari Indonesia juga berpotensi menjadi korban labelisasi sepihak.
"Kita tidak boleh diam. Ini bukan hanya soal produk, tapi soal martabat bangsa. Kalau label seperti ini dibiarkan tanpa pembelaan yang bermartabat dan berbasis data ilmiah, maka giliran tempe, sambal, bahkan jahe kita pun bisa diberi cap sesat oleh negara lain," papar Nurhadi.
Nurhadi pun menyerukan agar pemerintah melalui BPOM berdiri di barisan terdepan dalam membela kehormatan kuliner Nusantara.
"Indonesia harus tunjukkan taringnya. Ini waktunya BPOM dan pemerintah berdiri di barisan terdepan menjaga harga diri kuliner Nusantara," tandas Legislator dari Dapil Jawa Timur VI itu.