Oleh Sahlan Ake pada hari Jumat, 08 Agu 2025 - 14:55:18 WIB
Bagikan Berita ini :

Gaduh Wacana Kenaikan PBB Hingga 250% di Pati, Legislator Singgung Sulit Dapat PAD: Akhirnya Bebani Rakyat

tscom_news_photo_1754639718.jpg
Ahmad Irawan (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan menyoroti polemik soal wacana kenaikan pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan (PBB-P2) di Pati hingga 250% yang diprotes sejumlah warga. Menurutnya, wacana ini merupakan buntut dari masalah struktural antara hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang akhirnya membebani rakyat.

Irawan mendukung langkah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang akan melakukan pengecekan terkait wacana kebijakan di Pati tersebut. Meskipun seharusnya, Kemendagri mengetahui lebih awal.

"Karena logikanya setiap pungutan pajak/retribusi itu harus melalui Perda, sedangkan Perda sebelum disahkan harus di-review dulu oleh Kemendagri. Yang perlu dicek apakah kemudian yang pungutan pajak itu, itu ditetapkan oleh Perda atau Perkada (Peraturan Kepala Daerah),” kata Irawan, Jumat (8/8/2025).

“Kalau Perkada ya memang tidak harus persetujuan dan tidak harus melalui proses preview di Kemendagri,” imbuhnya.

Namun Perkada dinilai tidak memadai karena pajak atau pungutan terhadap rakyat harus melalui prosedur di DPRD. Dalam UUD, kata Irawan, juga diatur bahwa pajak atau pungutan di daerah harus melalui UU dan ditentukan oleh Perda.

"Nah itu yang harus dicek dan didalami Kemendagri. Termasuk mengecek ke dalam Kemendagri sendiri kalau memang perda telah melewati proses review di Kemendagri sebelum disahkan apakah Kemendagri itu tidak menemukan masalah yang kemudian di komplain oleh masyarakat," kata Irawan.

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian menyoroti pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan (PBB-P2) di Pati naik 250% hingga diprotes warga. Tito memerintahkan Inspektorat melakukan pengecekan dasar dari wacana Bupati Pati, Sudewo tersebut. Termasuk soal apakah perda PBB ini sudah konsultasi ke Kemendagri.

Adapun kenaikan PBB sebesar 250% itu menuai protes warga Kabupaten Pati. Bupati Pati Sudewo membeberkan alasan dalam kenaikan PBB itu yakni sebagai upaya maksimal memperbaiki infrastruktur di Pati, seperti jalan dan rumah sakit.

Terkait hal tersebut, Irawan menyoroti sejumlah hal yang menjadi persoalan dalam hal ini. Irawan memahami memang aturan mengenai pajak dan pungutan, dalam UU tidak ditentukan jumlah besarannya, melainkan hanya berdasarkan NJOP.

Irawan juga menyinggung kebutuhan daerah untuk mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sementara ruang untuk memperoleh pendapatan asli daerah tidak banyak.

“Saya memahami apa yang dipikirkan pak Bupati, belanja pegawainya besar dan macam-macam. Tapi ruang kepala daerah membuat kebijakan dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah itu sangat kecil karena yang besar-besar itu sudah diambil pemerintah pusat semuanya,” ungkap Irawan.

"Di satu sisi mereka diminta untuk mandiri secara fiskal. Tetapi yang tersisa hanya ruang retribusi parkir, PBB, nah yang lain lain udah diambil semua sama pemerintah pusat," imbuhnya.

Irawan mencontohkan soal sektor pangan. Menurutnya, pemerintah daerah tidak mendapatkan bagi hasil dari hasil bumi lantaran langsung dikirim ke pemerintah pusat. Sehingga pemerintah daerah tidak bisa menambah pendapat asli daerahnya.

"Kita bicara ketahanan pangan. Kalau bicara itu kan bicara hasil bumi, hasil pertanian, itu tidak ada ruang kosongnya, tidak ada hasilnya ke pemerintah daerah. Misalnya di Karawang, Sidrap, Sulawesi Selatan atau macam-macam, mereka bisa menghasilkan sampai 1 juta ton beras tapi kan tidak ada bagi hasilnya itu, yang ada itu bagi hasil tambang dan migas,” papar Irawan.

“Jadi ruang yang tersedia bagi pemerintah daerah itu sangat sedikit, ujung-ujungnya yang tersedia hanya tinggal pajak dan retribusi termasuk pajak bumi dan bangunan. Karena kan di luar itu tinggal pajak kendaraan bermotor. Jadi kan memang sulit untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akhirnya membebani rakyat di daerah," tambahnya.

Menurut Irawan, hal yang paling mendasar sebenarnya adalah persoalannya struktural dampak dari kebijakan pusat.

"Tapi ya itu tadi. Ini yang di Pati sebenarnya dampak dari kebijakan struktural kita. Jadi kita tidak bisa menyalahkan juga Bupati Pati-nya, karena motivasinya kan Pendapatan Asli daerah. Tapi ruang yang tersedia cuma itu," sebut Irawan.

Anggota Komisi DPR bidang pemerintahan dalam negeri dan pemda itu menilai, ke depan diperlukan penataan ulang terkait pembagian hasil bumi yang adil, baik bagi Pemerintah pusat maupun Pemda. Jika hasil bumi juga dibagi ke daerah, artinya Pemda memiliki lebih banyak ruang untuk mendapatkan PAD agar kemudian tidak membebankan kepada rakyat melalui pajak-pajak.

“Harusnya ada rumusan mengenai bagi hasil untuk produk hasil bumi. Jangan ke pusat semua, tapi ada juga buat daerah agar PAD juga bertambah,” jelasnya.

Irawan mengatakan perlu sebuah inovasi dan eksplorasi kebijakan guna mengatasi masalah struktural antara pemerintah pusat dan daerah.

"Jadi ini problem struktural, semua ditarik ke pusat. Kalau kita mau itu tidak terulang ya kita harus menata kembali otonomi daerah kita, di mana daerah diberi ruang eksplorasi kebijakannya, inovasi lah," ucap Legislator dari Dapil Jawa Timur V itu.

Irawan menambahkan, pihaknya juga tidak bisa menyalahkan Bupati Pati sepenuhnya terkait wacana kebijakan kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen. Sebab bisa saja harga pajak di daerah tersebut terbilang sangat murah. Namun disisi lain, Bupati Pati juga perlu memberikan sosialisasi secara baik kepada rakyat agar kebijakannya tidak terkesan dipaksakan.

"Intinya kita harus membela juga, rakyat tidak boleh dibebani secara langsung, harus ada sosialisasi kebijakan tersebut. Bupati juga nggak bisa disalahkan karena ruang kebijakannya itu kecil dan sempit, tapi belanja mereka tuntutannya sangat besar,” terang Irawan.

“Pendapatan asli daerah paling cuma 5%, ada yang 25% idealnya kan bisa 50% membiayai dan setengahnya kan biaya transfer Pusat," lanjutnya.

Meski begitu, Irawan mewanti-wanti kepala daerah untuk irit pengeluaran, termasuk dalam bal belanja pegawai. Menurutnya, Komisi II DPR pernah meminta agar pemerintah pusat dan daerah disiplin dalam menggunakan anggaran.

Apalagi sesuai UU nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daera, belanja pegawai tidak boleh lebih dari 30 persen.

"Nah itu yang harus dirasionalisasi oleh Pemda. Jangan sampai biaya operasional Pemda itu lebih besar melebihi ketentuan perundang-undangan," tutup Irawan.

tag: #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement