Oleh Sahlan Ake pada hari Jumat, 08 Agu 2025 - 16:48:33 WIB
Bagikan Berita ini :

Komisi III DPR Nilai Penangkapan 5 Pengakal Judol di DIY Ironi: Kenapa Bandarnya Tak Ditangkap?

tscom_news_photo_1754646513.jpg
Syarifuddin Sudding (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding menyoroti penangkapan lima pelaku yang diduga mengakali sistem dan merugikan bandar judi online (judol) oleh Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY). Ia menilai, penanganan kasus ini tidak hanya janggal, tetapi juga membuat publik bertanya-tanya soal arah penegakan hukum terhadap kejahatan digital yang masif dan terorganisir itu.

Menurut Sudding, semestinya kasus ini menjadi pintu masuk untuk memburu dalang alias bandar di balik maraknya judi online. Ia menyebut Polisi semestinya dapat memanfaatkan lima orang yang ditangkap itu untuk menyelidiki akun-akun judol, termasuk membuka ke publik siapa yang melapor.

"Ada keganjilan yang tidak bisa diabaikan. Seharusnya yang disikat polisi, ya bandarnya, dan kasus ini pintu masuknya. Kalau yang melapor bandarnya, kenapa polisi nggak nangkap. Dan kalaupun bukan, kenapa polisi tak tangkap bandarnya?” kata Sarifuddin Sudding, Jumat (8/8/2025).

Seperti diberitakan, Polda DIY berhasil mengamankan lima orang pelaku atau operator yang diduga mengakali sistem promo situs judol. Kelima pengakal sistem ini disebut merugikan bandar judol karena memiliki banyak akun yang dapat membobol dan menarik uang atau cashback dan promo di situs judol.

Kelima pelaku diamankan melalui aksi penggerebekan di sebuah rumah, daerah Banguntapan, Bantul, Kamis (10/7). Lima pelaku yang telah diditetapkan sebagai tersangka adalah RDS (32), EN (31), dan DA (22) warga Bantul serta NF (25) warga Kebumen dan PA (24) warga Magelang. Nama pertama bertindak sebagai koordinator, sementara empat lainnya sebagai operator.

Para tersangka bermain judi online secara terorganisir dengan memanfaatkan celah pada promo situs judi. Setiap orang memainkan 10 akun dalam satu perangkat komputer per hari.

Aksi mengakali sistem judi online itu berlangsung selama satu tahun di Yogyakarta. Setiap bulan setidaknya ada keuntungan sebesar Rp50 juta yang masuk ke rekening RDS. Sementara empat karyawannya dibayar Rp1,5 juta per minggu.

Menurut pihak kepolisian, mereka menyelidiki kasus ini berdasarkan keterangan masyarakat. Namun publik bertanya-tanya, siapakah masyarakat yang dimaksud itu dan menduga pelapor adalah bandar judol yang dirugikan atas aksi 5 warga Yogya tersebut.

Terkait hal ini, Sudding pun merasa ironi karena betapa cepatnya polisi menangani kasus yang merugikan bandar judol, namun untuk bandarnya sendiri tidak ditangkap-tangkap.

"Polisi bergerak cepat menangkap warga yang disebut merugikan situs judi online, namun keberadaan bandar yang jelas-jelas merupakan pelaku utama justru tak tersentuh. Ini seperti membiarkan akar kejahatan tetap tumbuh, dan hanya memangkas rantingnya. Kan ironis,” tuturnya.

Sudding menilai, penangkapan terhadap lima pelaku yang memanfaatkan celah teknis dalam sistem promosi situs judi online justru membuka fakta bahwa sistem judol itu sendiri beroperasi secara ilegal, merusak masyarakat, dan telah lama dibiarkan tumbuh subur di ruang digital Indonesia.

"Pertanyaannya bukan siapa yang mengakali sistem, tapi kenapa sistem judi online yang ilegal ini bisa terus beroperasi tanpa disentuh aparat?” tegas Sudding.

“Siapa yang membiarkan? Siapa yang diuntungkan? Jangan sampai penegakan hukum ini digunakan untuk mengamankan kepentingan para bandar," lanjut Legislator dari Dapil Sulawesi Tengah itu.

Sudding mengingatkan bahwa aparat penegakan hukum tidak boleh diskriminatif, apalagi dalam menangani kasus dengan dampak sosial dan ekonomi yang luas seperti judi online. Terlebih, judi digital telah menjadi epidemi sosial yang menyasar masyarakat bawah, merusak kehidupan keluarga, dan menjerat generasi muda dalam jeratan utang dan kecanduan.

"Jangan sampai aparat justru terlihat lebih sigap saat pelaku yang ditangkap "merugikan bandar", tapi lambat saat yang dihadapi adalah para bandar yang merugikan masyarakat,” pesan Sudding.

“Kalau benar aparat bertindak atas laporan masyarakat, seharusnya yang diburu adalah bandar yang menciptakan ekosistem judi itu sendiri," tambahnya.

Dalam kasus ini, Sudding mendesak Polda DIY untuk bersikap profesional, transparan, dan akuntabel, serta membuka ke publik siapa aktor-aktor besar di balik operasi situs judi online tersebut.

"Sudah saatnya aparat penegak hukum berhenti mengejar pelaku-pelaku kecil dan mulai membongkar struktur bisnis ilegal yang melibatkan bandar besar, jaringan pembayaran, serta potensi pembiaran oleh oknum aparat," ungkap Sudding.

Anggota Komisi Hukum DPR ini pun mendorong dilakukannya audit menyeluruh terhadap situs-situs judi online yang aktif di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Termasuk, kata Sudding, penelusuran aliran dana, penggunaan dompet digital, serta potensi kerja sama sistematis yang memungkinkan bisnis ilegal ini tetap berjalan.

"Kalau serius memberantas judi online, tidak cukup hanya menangkap pelaku teknis di permukaan. Perlu keberanian politik dan integritas hukum untuk menyentuh para pengendali utama judi online ini," sebutnya.

Sudding menegaskan, Komisi III DPR yang membidangi urusan hukum dan bermitra dengan Polri itu berkomitmen untuk melakukan supervisi ketat terhadap aparat penegak hukum, termasuk dalam penanganan kasus-kasus judol.

"Dan memastikan bahwa penegakan hukum dijalankan untuk melindungi kepentingan masyarakat, bukan menjadi instrumen perlindungan bagi kejahatan digital terorganisir," pungkas Sudding.

tag: #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement