TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta,
Awal rencana: Indonesia merancang proyek kereta cepat sebagai bagian modernisasi transportasi massal.
Kontestasi Jepang vs Tiongkok: Jepang menawarkan skema government-to-government dengan studi kelayakan detail dan dukungan pinjaman berbunga rendah.
Keputusan politik: Pemerintahan Jokowi memilih Tiongkok karena menawarkan skema B2B tanpa jaminan APBN.
Catatan investigatif: Pada titik ini, due diligence independen diabaikan—lebih banyak pertimbangan geopolitik daripada finansial.
2016 – Penandatanganan Perjanjian Pinjaman
China Development Bank (CDB) menyepakati pinjaman besar dengan porsi 75% dari total biaya proyek.
Konsorsium KCIC dibentuk: gabungan BUMN Indonesia (KAI, Wijaya Karya, dll.) dengan China Railway International.
Permasalahan awal: Dokumen pinjaman tidak transparan, klausul teknis dan risiko fiskal tidak diumumkan ke publik maupun DPR.
Catatan investigatif: Due diligence finansial minim. Proyeksi penumpang harian dibuat terlalu optimistis tanpa sensitivitas realistis terhadap daya beli masyarakat.
2017–2019 – Konstruksi dan Biaya Membengkak
Groundbreaking 2017: Konstruksi dimulai, namun terkendala pembebasan lahan.
Biaya membengkak (cost overrun): dari estimasi awal USD 6 miliar naik signifikan.
Utang bertambah: KCIC harus kembali bernegosiasi dengan CDB.
Catatan investigatif: Di sinilah terlihat absennya due diligence risiko konstruksi. Proyek infrastruktur berskala besar selalu rawan cost overrun, namun analisis risiko tidak pernah dipublikasikan.
2020 – Pandemi dan Penundaan
COVID-19 memperlambat progres fisik proyek, menunda operasional.
Kebutuhan pendanaan tambahan makin besar.
Pemerintah akhirnya memberikan penyertaan modal negara (PMN) melalui KAI—bertolak belakang dengan klaim awal bahwa proyek ini murni B2B.
Catatan investigatif: Ini titik balik—janji “tidak pakai APBN” terbukti rapuh. Due diligence kelembagaan gagal, karena pemerintah harus turun tangan menambal kekurangan.
2021–2022 – Eskalasi Utang
Tambahan pinjaman kembali dinegosiasikan ke CDB.
Biaya proyek diperkirakan tembus lebih dari Rp 120 triliun.
Audit publik minim: DPR hanya mendapatkan penjelasan parsial.
Catatan investigatif: Keputusan keuangan diambil tanpa keterlibatan DPR secara penuh, padahal implikasinya bisa berujung pada utang negara.
2023 – Kereta Cepat Beroperasi
Soft launching Oktober 2023: KCJB (Whoosh) resmi beroperasi.
Harga tiket relatif mahal (Rp 250.000–Rp 350.000), membuat okupansi jauh dari target.
Beban operasional mulai terasa karena biaya energi dan perawatan tinggi.
Catatan investigatif: Studi kelayakan penumpang terbukti terlalu optimistis. Due diligence permintaan pasar gagal total.
---
2024 – Beban Finansial Menggunung
Laporan arus kas KCIC menunjukkan potensi defisit besar.
Pemerintah harus menyiapkan skema bailout terselubung agar proyek tidak kolaps.
Muncul kritik publik bahwa KCJB berpotensi menjadi white elephant project.
Catatan investigatif: Pada fase ini, terlihat jelas konsekuensi lemahnya due diligence sejak awal.
2025 – Bom Waktu Pecah
Agustus 2025: Dirut KAI Bobby Rasyidin menyebut utang KCJB sebagai “bom waktu”.
Komisi VI DPR RI mendesak KAI menjelaskan detail beban utang.
BPI Danantara dipanggil untuk mencari jalan keluar, mulai dari restrukturisasi hingga penyertaan ekuitas baru.
Catatan investigatif: Pada akhirnya, apa yang diabaikan di awal kini berubah menjadi krisis yang berpotensi membebani fiskal negara.
Benang Merah Investigasi
1. 2015–2016: Keputusan politik lebih dominan daripada due diligence.
2. 2017–2019: Risiko konstruksi dan cost overrun tidak diantisipasi secara matang.
3. 2020–2022: Janji B2B runtuh, pemerintah terpaksa menyuntikkan APBN.
4. 2023–2024: Proyeksi bisnis tidak realistis, okupansi rendah.
5. 2025: Utang menumpuk, muncul “bom waktu” yang harus diselesaikan oleh pemerintahan baru.