JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Klarifikasi Menteri Investasi sekaligus CEO Danantara, Rosan Roeslani, yang menepis isu rencana akuisisi Bank Central Asia (BCA) oleh Danantara (Investortrust.id) sempat menenangkan pasar. Namun, bantahan tersebut justru membuka kembali perdebatan lama tentang skandal BLBI dan proses pembelian BCA oleh swasta yang hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar.
Bailout BCA dan Skema Pembelian
Ekonom senior sekaligus Ketua Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinagoro, menilai kasus BCA tidak bisa dilepaskan dari rangkaian kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada akhir 1990-an.
Menurutnya, pada tahun 2002 nilai riil BCA diperkirakan mencapai Rp117 triliun, sementara kewajiban negara yang dicatat hanya sekitar Rp60 triliun, dengan skema cicilan Rp7 triliun per tahun. “Mengapa negara harus melepas BCA dengan harga murah pasca bailout? Sejatinya negara berhak mempertahankan minimal 51 persen saham tanpa mengeluarkan biaya tambahan,” tegas Sasmito.
Ia menambahkan, proses pembelian BCA oleh swasta setelah bailout bukan hanya merugikan fiskal negara, tetapi juga merampas hak rakyat atas aset strategis yang seharusnya dikuasai negara.
Klarifikasi Rosan, Luka yang Belum Pulih
Rosan dalam keterangannya menegaskan bahwa kabar akuisisi BCA oleh Danantara tidak benar, dan berharap isu tersebut tidak menimbulkan spekulasi liar di pasar. Namun, bagi Sasmito, klarifikasi itu tidak cukup untuk menutup perdebatan publik.
“Menepis isu bukan berarti menyembuhkan luka lama. Yang rakyat butuhkan adalah investigasi transparan atas proses bailout dan pembelian BCA. Tanpa itu, keadilan fiskal hanya akan jadi jargon,” ujarnya.
Pajak sebagai Equity Negara
LPEKN menegaskan bahwa dana bailout sejatinya bersumber dari pajak rakyat, yang menjadi tulang punggung APBN. Pajak yang dipungut dengan susah payah seharusnya diposisikan sebagai equity negara atau penyertaan modal pemerintah, bukan sekadar utang yang kemudian dialihkan untuk kepentingan swasta.
“Pajak itu modal negara. Maka hasilnya wajib kembali ke rakyat, bukan jadi bancakan segelintir elite,” kata Sasmito.
Desakan Revolusi Keuangan Negara
LPEKN mendesak pemerintah melakukan Revolusi Keuangan Negara dengan tiga langkah strategis:
1. Investigasi ulang proses bailout dan pembelian BCA, termasuk siapa saja yang diuntungkan.
2. Reformasi fiskal dan transparansi penggunaan pajak rakyat, agar APBN benar-benar berpihak pada rakyat.
3. Reposisi aset strategis, dengan mengembalikan kendali BCA dan aset BLBI ke pangkuan negara.
Sasmito bahkan mengusulkan Presiden Prabowo Subianto membentuk tim khusus pemberantasan mafia keuangan negara, dan menyatakan kesediaannya memimpin upaya itu demi kedaulatan ekonomi.
Penutup
Klarifikasi Rosan memang meredakan ketegangan sesaat, tetapi polemik BLBI–BCA tetap menjadi luka yang belum sembuh. Selama investigasi menyeluruh tidak dilakukan, kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan negara akan terus melemah.
“Revolusi Keuangan Negara bukan sekadar slogan. Ini adalah kebutuhan mendesak untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi bangsa,” pungkas Sasmito.