Oleh Sahlan Ake pada hari Senin, 01 Sep 2025 - 10:22:50 WIB
Bagikan Berita ini :

Terkait Demonstrasi Besar-Besaran: Prof Henry Indraguna Serukan Jalan Tengah Demokrasi dan Stabilitas Nasional

tscom_news_photo_1756696970.jpg
Henry Indraguna (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di tanah air yang berujung tindakan anarkis mendapat perhatian serius dari Pakar Hukum Prof Henry Indraguna, SH.MH.

Menurut Prof Henry, unjuk rasa yang semula dilakukan oleh elemen buruh kemudian disusul aksi mahasiswa, pel ajar hingga pengemudi ojol (ojek online) serta masyarakat akar rumput yang semakin terpicu kemarahannya lantaran kematian Affan Kurniawan yang ditabrak dan dilindas mobil rantis Brimob yang menghadang demonstasi tersebut adalah mencerminkan akumulasi kegelisahan publik atas isu-isu penegakan hukum, keadilan sosial, kenaikan biaya hidup akibat harga instabil dan PHK dimana-mana, angka pengangguran yang makin besar akibat lapangan kerja menciut, beban pajak, serta praktik korupsi, kolusi, nepotisme menjadi-jadi dan gaya hidup kaum elit yang mencolok di tengah kesulitan rakyat.

Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini bisa memaklumi bahwa penyampaian pendapat, gagasan, kritik, protes secara terbuka adalah dijamin oleh konstitusi.

Namun aksi demontrasi yang anarkitis, yang keluar dari semangat memperjuangkan hak-hak masyarakat yang esensial yakni perbaikan taraf hidup bahkan jika ada tendensi politis untuk membubarkan parlemen dan menjatuhkan pemerintahan saat ini yang baru bekerja belum genap satu tahun adalah tindakan yang tidak bisa ditoleransi dan bisa dikatakan sebagai upaya inkonstitusional.

"Aksi massa yang anarkitis dan vandalisme yang merusak sarana dan prasarana dapat berkembang menjadi konflik sosial yang dapat mengganggu stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi nasional,” tandas Prof Henry di Jakarta, Minggu (31/8/2025).

Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang ini kemudian menyoroti permasalahan utama terjadinya hal yang bisa memicu demonstrasi besar-besaran. Yakni karena aspirasi rakyat tidak didengar, diacuhkan, diabaikan bahkan dilecehkan yang mereka (elit penguasa-red) sebagai pepesan kosong.

“Banyak kebijakan publik dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil. Misalnya isu kenaikan harga kebutuhan pokok, kebijakan fiskal, isu blokir rekening,pajak yg membabi buta,korupsi yg sangat luar biasa dll). Rakyat menilai jalur formal aspirasi tidak efektif sehingga memilih jalanan sebagai ruang ekspresi,” ungkap Prof Henry.

Prof Henry mengatakan, berdasarkan analisisnya, kesenjangan sosial dan gaya hidup pejabat menjadi pemicu psikologis kemarahan publik. Ketika rakyat menghadapi beban ekonomi, pajak tinggi, dan isu korupsi, gaya hidup glamor pejabat menambah luka kolektif.

Selain itu, beber Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini, arogansi dan gaya hidup pejabat yang semakin "ugal-ugalan" di saat rakyat susah menjadi pemantik rakyat muak, semakin benci dan tidak percaya kepada pejabat.

Rakyat semakin tidak percaya karena sebagian pejabat menampilkan gaya hidup mewah, bahkan lebih menyukai flexing ketimbang hidup bersahaja.

"Mereka (elit dan oknum pejabat)
seolah seperti hidup seperti borjuis di tengah-tengah kaum proletariat, yang sama sekali tidak sense of crisis. Kesenjangan sosial ini memperlebar jurang kepercayaan publik terhadap pemerintah dan elit politik,” tegasnya.

Kemudian ditambah korupsi yang membabi buta, tanpa tedeng aling-aling dengan "merampok" kekayaan bumi pertiwi yang sekarang dilakukan oleh seluruh struktur pemerintahan dari oknum pusat maupun daerah.

Prof Henry menyebut kasus korupsi terus berulang, menimbulkan persepsi bahwa negara gagal memberantas praktik penyalahgunaan kekuasaan.

“Celakanya lagi aset hasil korupsi tidak sepenuhnya berhasil dikembalikan untuk kepentingan rakyat karena payung hukum untuk melegitimasi upaya perampasan aset-aset koruptor itu pun tak kunjung dibikin. RUU Perampasan Aset yang sering menjadi diskursus hanya sampai menjadi wacana dan retorika,” terangnya.

Kritisi Kebijakan Fiskal

Politisi Beringin asal Jateng ini juga menyoroti beban pajak tinggi yang justru lebih menyasar rakyat strata menengah dan kecil. Mulai dari PPh hingga PBB yang diterbitkan oleh pemerintah daerah terpaksa harus dinaikkan akibat ruang fiskal yang terlalu rendah.

Kebijakan fiskal yang membebani masyarakat kecil menambah keresahan, terutama ketika publik melihat adanya ketidakadilan dalam pengelolaan APBN.

Ketua DPP Ormas MKGR ini mengungkapkan masyarakat menuntut agar hasil pajak digunakan untuk kebutuhan pelayanan publik, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok yang menjadi bancaan karena ada perburuan rente di situ.

Sebagai pakar hukum, dia juga mengkritisi pendekatan aparat yang sering didapati lebih represif ketimbang humanis. Hal ini terjadi saat
lenanganan aksi kerap menimbulkan korban jiwa maupun luka-luka dari pengunjuk rasa, bahkan masyarakat yang kebetulan berada di lokasi demonstrasi.

"Narasi No Viral, No Justice kini jadi senjata ampuh untuk memprovokasi massa lebih besar dan menjadi komoditas bahwa aspirasi masyarakat merasa hanya didengar setelah muncul korban atau kerusuhan,” tuturnya.

Lebih parah lagi, lanjut Prof Henry penegakan hukum yang lemah terhadap korupsi menimbulkan persepsi adanya impunitas bagi elit politik yang memicu turunnya kepercayaan rakyat.

Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI ini juga menyorot tajam sistem politik dan pemilu yang belum ideal, yang acapkali melahirkan kroni dan oligarki kekuasaan karena faktor kapitalisasi finansial, dan bukan kapasitas dan integritas yang menjadi tolok ukurnya. Sehingga menghasilkan kebijakan yang jauh dari aspirasi masyarakat.

Usulan Rekomendasi sebagai Solusi

Prof Henry kemudian mengusulkan rekomendasi kebijakan untuk mengurai persoalan tersebut.

Dalam jangka pendek, dia meminta agar membuka dialog nasional antara pemerintah, DPR, mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil secara terbuka.

“Proses hukum transparan terhadap aparat yang diduga melanggar prosedur penanganan demo. Hentikan sikap represif dan arogansi pejabat, ganti dengan pendekatan persuasif dan humanis. Kontrol gaya hidup pejabat publik dengan regulasi pelaporan kekayaan yang transparan dan mekanisme audit independen. Tunda atau evaluasi kebijakan kenaikan pajak atau biaya hidup sampai ada mekanisme kompensasi yang adil bagi masyarakat kecil,” urai Waketum DPP Bapera sekaligus Ketua LBH DPP Bapera.

Adapun untuk rekomendasi jangka panjang, Prof Henry meminta segera mensahkan UU Perampasan Aset untuk mempercepat pemulihan kerugian negara akibat korupsi.

Revisi UU ITE agar tidak lagi menjerat kritik rakyat dengan pasal karet. Reformasi sistem Pemilu (Pileg dan Pilkada) agar lebih berbiaya murah, transparan, dan berbasis meritokrasi, sehingga lahir pejabat yang kompeten dan berhati nurani.

Penguatan sistem partai politik melalui revisi UU Partai Politik dan pembentukan UU Pembiayaan Politik agar praktik politik uang dan politik dinasti dapat dicegah.

Pendidikan politik dan etika publik sejak dini untuk membangun budaya politik beradab, sehingga aspirasi masyarakat tersalurkan secara sehat tanpa harus menunggu terjadi gejolak sosial

“Sebagai Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar, saya menegaskan bahwa pemerintah harus mengantisipasi demonstrasi dengan kebijakan yang berkeadilan, pendekatan yang persuasif, dan teladan moral dari para pemimpin,” tegasnya.

Menurutnya, hanya dengan menghapus arogansi pejabat, menekan korupsi yang membabi buta, mengelola pajak dengan adil, serta mereformasi sistem pemilu dan regulasi kunci seperti UU Perampasan Aset dan UU ITE, kita dapat mengembalikan kepercayaan rakyat.

“Jalan tengah antara kebebasan dan ketertiban, dengan berlandaskan Pasal 28E dan Pasal 34 UUD 1945, akan menjadi fondasi penting menuju Indonesia Emas 2045 yang adil, sejahtera, dan beradab,” pungkas Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.

tag: #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement