JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Anggota komisi VII DPR RI Katherine A. Oendoen mengatakan, pemerintah memiliki pekerjaan besar yang tak kunjung terlaksana. Pekerjaan tersebut adalah menyediakan sumber energi bagi masyarakat dan keperluan industri untuk menggerakkan roda ekonomi.
Menurutnya, dalam kondisi krisis energi seperti saat ini, mengandalkan energi fosil jelas tidak bisa, apalagi sisi upstream dan downstream masih terus kedodoran. Ini disebabkan karena kurang efisien dan lemah dalam kegiatan eksplorasi untuk mendapatkan cekungan hidrokarbon baru.
"Alasan lainnya karena pemerintah tidak mampu membuat kilang minyak sendiri untuk mengolah minyak dalam negeri maupun minyak impor yang jenis sour crude. Banyak sumber energi alternatif seperti Coal Bed Methane (CBM), batubara cair / Coal To Liquid (CTL) yang menghasilkan BBM dan gas methane, Biomassa To Liquid ( BTL ) dan lain lain,” ujar Katherine kepada TeropongSenayan di Jakarta, Minggu (5/7/2015).
Semua itu terjadi, kata Katherine, karena pemerintah kurang memberi perhatian terhadap inventor anak bangsa yang mengembangkan teknologi untuk mengolah energi alternatif.
“Tidak ada upaya dari pemerintah untuk memberi kesempatan kepada anak bangsa untuk membuat kilang minyak sendiri misalnya, tapi selalu memberi kepercayaan kepada pihak asing bahkan kepada Cina yang secara teknologi baru muncul setelah tahun 1997,” ungkapnya.
Ia mengaku memiliki persepsi yang sama dengan sejumlah pengamat yang menilai Indonesia sedang mengalami krisis energi. Politisi Gerindra ini bahkan memprediksi kandungan minyak bumi yang dimiliki Indonesia akan habis dalam jangka 11 tahun ke depan.
“Kalau dikatakan Indonesia di ambang krisis saya setuju, tapi bukan karena perkiraan bahwa cadangan minyak kita akan habis dalam 11 tahun. Amerika yang sudah lebih lama ngebor minyak saja produksinya bisa membanjiri pasar kalau mereka mau intervensi harga crude oil, di samping juga karena cadangan crude oil yg mereka simpan di gua gua di teluk Mexico. Negara-negara Arab seperti Arab Saudi bertahun-tahun produksinya diatas 1,5 juta barel sehari," jelasnya.
"Kita belum dengar cadangan minyak mereka tinggal sekian tahun. Blok Cepu yang sudah 1 abad di produksi ternyata sekarang menjadi andalan dalam target lifting minyak Indonesia. Jadi, reservoir minyak itu tidak seperti air didalam bak air, yang dapat habis ditimba. Kalau menurun nya level sumur minyak itu penyebabnya bisa bermacam macam seperti banyaknya jumlah sumur di sekitar yang tidak dihitung akibatnya terhadap tekanan total pada reservoir.”
Anggota DPR dari Dapil Kalbar ini berpendapat krisis energi di Indonesia lebih disebabkan oleh industri yang tidak seimbang antara kemampuan produksi BBM dari kilang minyak Pertamina dengan kenaikan tingkat konsumsi BBM masyarakat. Di sisi lain, produksi jumlah kendaraan yang diimpor, dibeli dan digunakan masyarakat Indonesia berjumlah jutaan unit pertahun.
“Sehingga untuk menutup kebutuhan BBM harus impor baik dalam bentuk crude oil maupun produk BBM. Disisi hulu migas atau upstream, produksi minyak mentah hanya di bawah 1 juta barel perhari dengan bagian 30% atau hanya kurang dari 250 ribu barel perhari, sedangkan disisi hilir atau downstream seperti kita ketahui bahwa kapasitas kilang milik pertamina sekitar 1 juta barel per hari. Akibatnya produk BBM, premium, solar dan lain-lain harus kita impor dan kebutuhan crude oil untuk kilang kita impor lagi dari bagian KKKS yang beroperasi di negara kita,” ungkapnya. (iy)