JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) semestinya mempertimbangkan realita di lapangan terkait dinasti politik yang kerap banyak menimbulkan ketidakadilan.
Menurutnya, persoalan Pilkada sungguh sangat kompleks, tidak hanya berkaitan dengan undang-undang-nya saja, tapi juga stakeholders terkait dan realitas perkembangan dalam masyarakat.
"Revisi UU Pilkada dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pelaksanaan Pilkada selama ini yang sudah mencapai 1.027 daerah. Praktek negatif Pemda yang menghasilkan KKN salah satunya dipicu oleh dinasti politik politik," kata Zuhro kepada TeropongSenayan, Minggu (12/7/2015).
KKN terjadi, lanjut Zuhro, karena pengelolaan yang tak transparan dan tak akuntabel. Dengan banyaknya kasus pelanggaran hukum yang dilakukan pimpinan daerah, yakni sekitar 360 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dan masih banyaknya daerah tertinggal.
"Mestinya keberpihakan yang perlu ditunjukkan kita semua adalah konsistensi dan komitmen dalam mengawal pilkada agar bisa berlangung free and fair, damai dan demokratis," ungkapnya.
Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dimaksudkan untuk mengunci berkembangbiaknya dinasti politik yang merugikan rakyat, bukan dimaksudkan diskriminatif dan tidak pula melanggar HAM.
"Karena pimpinan daerah yang korup dan menyimpanglah yang sejatinya melanggar HAM," tandasnya.(yn)