Akibat minimnya 'ilmu kalaunologi' yang dikuasai para pembuat UU, salah satu akibatnya calon tunggal tak bisa bertarung dalam Pilkada serentak. Daerah seperti ini harus menunggu 2017 melaksanakan Pilkada.
Saya sungguh heran, apakah saat menyusun UU tentang Pilkada para wakil rakyat itu tidak memikirkan 'kalau' terjadi fenomena calon tunggal? Jika demikian apa dasar pemikiran dan pertimbangan para anggota yang terhormat itu?
Susahkah memasukan antisipasi atau 'ilmu kalaunologi' dalam menyusun UU? Rasanya bukan hal yang sulit dan berat memikirkan kemungkinan adanya fenomena calon tunggal dan menyiapkan solusinya pada saat masih menyusun UU.
Tapi sudahlah. Seharusnya para pihak yang terkait dengan penyelenggaraan Pilkada tak lagi sok sibuk meributkan fenomena calon tunggal. Malah seharusnya minta maaf kepada rakyat bahwa mereka salah menjalankan tugas menyiapkan UU karena minim 'ilmu kalaunologi'.
Sayang 'ilmu kalaunologi' masih menjadi barang aneh dan diremehkan. Tak percaya. Coba lihat para pejabat saat wartawan mengajukan pertanyaan dengan kata 'andai' ataupun 'kalau'. Umumnya mereka enggan menanggapinya.
Padahal pertanyaan seperti itu sesungguhnya membantu para pejabat itu sendiri. Sebab, pertanyaan seperti itu akan membawanya mengantisipasi atau menyiapkan segala sesuatunya jika benar-benar terjadi.
Saya berpandangan orang yang meremehkan 'ilmu kalaunologi' adalah orang bodoh, arogan, berpikir pendek dan menyepelekan sesuatu. Sehingga tak terbiasa mengantisipasi atau berpikir jangka panjang. Lalu linglung saat menghadapi kenyataan.
Mari belajar 'ilmu kalaunologi'.(*)