YOGYAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain mengatakan dengan tidak menempatkan penguasaan dan pengembangan iptek sebagai landasan pembangunan maka Vietnam sangat berpeluang menyalip perkembangan Iptek Indonesia dalam waktu dekat.
"Posisi sekarang yang jelas itu Vietnam. Kalau kita tidak hati-hati sebentar lagi mereka akan berada di depan kita," katanya di sela-sela konferensi ASIALICS ke-12 di Yogyakarta, Selasa (15/9/2015).
Ia mengatakan tidak perlu merasa heran jika satu ketika Indonesia hanya bersaing dengan Kamboja dan Myanmar saja dalam perkembangan iptek, karena negara-negara di kawasan Asia Tenggara sudah berjalan lebih dulu di depan.
"Kalau kita lihat di sekeliling kita, kita hanya memanfaatkan teknologi dan belum mengembangkan teknologi. Contohnya telepon genggam yang kita pakai kebanyakan bukan buatan Indonesia, televisi yang kita tonton juga bukan buatan Indonesia, mobil juga bukan buatan orang kita," ujar dia.
Jadi, menurut dia, belum ada kesadaran untuk bagaimana memenuhi kebutuhan sendiri dengan penguasaan dan pengembangan teknologi inovasi. "Dan ini tidak bisa dimulai oleh peneliti, tapi harus dari kebijakan dan arah pembangunan itu sendiri".
Jika pun benar prediksi yang menyebutkan Indonesia masuk negara lima besar dunia pada 2020, maka menurut dia, hanya dari sisi ekonomi dengan pertumbuhan berbasis sumber daya alam. Padahal negara-negara maju 60 persen pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) justru berasal dari jasa.
Kebijakan dari pimpinan nasional, menurut dia, sangat menentukan. Jika mencontoh Korea Selatan, meminta kembali seluruh peneliti dan ilmuwan kembali ke negaranya, diberikan fasilitas untuk melakukan riset, diberi imbalan yang tidak bisa dibandingkan dengan tempat mereka bekerja di luar negeri.
"Itu yang dilakukan Korea, dan sekarang oleh India dengan membangun silicon valey mereka. Pak Habibie coba bangun Puspiptek tapi belum kesampaian," katanya.
Peneliti senior LIPI Lukman Hakim mengatakan inkonsistensi kebijakan pengembangan iptek di Indonesia menjadi penyebab ketertinggalan yang terjadi saat ini. "Lihat saja, tidak ada satu skema bank yang bankable untuk riset. Selama ini kita pakai APBN tapi porsi dana riset juga terus tertinggal dari sektor lain".
Saat ini, menurut dia, kementerian/lembaga mulai sadar bahwa semua membutuhkan riset. Kementerian Dalam Negeri sadar membutuhkan riset untuk Pilkada.
Lukman mengatakan pada masa Orde Baru ada kebijakan pembangunan ekonomi. Posisi tersebut diprediksi mampu mengantarkan Indonesia menjadi negara industri, namun nyatanya tidak.
Belanja riset satu persen PDB pernah dicapai Indonesia di tahun 1970-an saat income per kapita Indonesia sama dengan Kores Selatan. Tapi kenyataannya pada akhirnya Indonesia tidak masuk salah satu delapan negara ajaib.
"Di tahun 1985-an Tiongkok itu belajar dari Indonesia membangun Puspiptek. Saat ini Tiongkok jadi negara nomor dua di dunia dengan pertumbuhan iptek terpesar," ujar Lukman. (iy/an)