JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Anggota MPR RI dari Fraksi PKB Lukman Edy mengatakan setidaknya ada dua hal penting terkait keberadaan MPR RI. Selain sebagai lembaga yang melakukan sosialisasi empatPilar kebangsaan, MPR RI juga sebagai kelembagaan dan Pancasila sebagai perekat perbedaan.
“Khusus untuk MPR RI memang perlu di-upgrade kembali, karena perkembangan saat ini banyak yang aneh-aneh di mana tak ada di dunia, dalam suatu negara yang tidak memiliki lembaga tertinggi negaranya,” tegasnya di DPR RI Jakarta, Selasa (22/9/2015).
Pertama, masalah GBHN atau sejenisnya, karena kepemimpinan negara itu harus ada garis besarnya (pedoman).
“Kalau ganti-ganti Presiden RI, maka ganti pula visi dan misinya, maka pembangunan tidak akan tercapai sehingga dibutuhkan GBHN, agar ada kesinambungan pembangunan, reasonable,” tandas Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu.
Kedua, ada usulan MPR RI mempunyai kewenangan tertinggi. Ketiga, TAP MPR RI mempunyai kekuatan keluar, karena selama ini hanya mengatur ke dalam.
Misalnya, apakah tiap-tiap UU harus mempertimbangkan TAP MPR RI?
“Kalau TAP MPR RI bisa mengikat keluar, maka Presiden dan menteri-menterinya bisa mentaati TAP MPR RI dan memasukkan Pancasila ke dalam semua produk UU.
“Selama ini Pancasila hanya ada dalam pembukaan UUD NRI 1945,” ujarnya.
Keempat, isu sidang tahunan MPR RI yang efektif. Sidang tahunan MPR RI di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan yang digelar pada 16 Agustus 2015 lalu itu tidak efektifdanhanya formalitas.Itu pun kata dia, karena didorong-dorong, lembaga negara hanya menitipkan laporannya ke Presiden RI.
Padahal, sidang tahunan MPR RI itu penting untuk mengevaluasi kinerja penyelenggara negara seperti Presiden RI, MPR RI, DPR RI, DPD RI, MK, MA, BPK dan KY, terhadap pelaksanaan UUD NRI 1945.
“Untuk itu sidang tahunan MPR RI itu harus dikaji ulang,” tukas Lukman.
Hal penting yang kedua, adalah isu SARA. Seperti paham radikalisme, kasus Tolikara, Papua, kata dia, semuanya untuk mengganggu disintegrasi bangsa.
“Maka hubungan pusat dan daerah harus dijaga dengan baik, kalau tidak akan menjadi bibit desintegrasi bangsa. Seperti kasus asap kebakaran di Riau, yang tidak cepat direspon oleh Pusat, sehingga mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia,” ujarnya.
Kemudian paham global, yang tidak mengakui pemerintah dan pemerintah dianggap sebagai thogut (setan), maka Pancasila menjadi penting untuk terus-menerus disosialisasikan.
“Kalau kemiskinan sebagai lawan Pancasila, benar. Hanya saja kalau kemiskinan saat ini lajunya 100 km per jam, maka sosialisasi empatPilar MPR RI lajunya baru 25 km per jam. Ya, masih bagus, karena angka 25 Km per jam itu nantinya kalau terus-menerus dilakukan akan bisa mengejar 100 Km per jam tersebut, meski kini utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 4000 triliun lebih akibat dollar tembus Rp 14.400,-, sehingga setiap WNI harus menanggung Rp 18 juta,” jelasnya. (iy)