JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang juga Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan menyesalkan perbedaan besaran pajak antara PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Mestinya kata dia, pajak keduanya tidak perlu dibedakan.
"Kalau ke PLN lebih rendah, kenapa ke Inalum dikenakan pajak lebih berat. Pajak PAP (pajak air permukaan) itu obyektif, bukan subyektif, jadi mestinya diberlakukan sama," kata Gunadi kepada wartawan di Jakarta, Rabu (14/12/2016).
Menurutnya, pajak air permukaan yang dikenakan PT Inalum merupakan pajak obyektif. Hal itu juga sama dengan yang digunakan oleh PLN.
"Inalum pajak obyektif, karena obyeknya. Ini kan bahannya sama dengan PLN, lalu kenapa beda. Ini pajak obyektif jadi kayak subjektif, mestinya sama. Dia kan sama-sama produk listrik," tegas Ketua Tax Center FISIP UI ini.
Prof Gunadi juga meminta agar Peraturan Daerah yang dikeluarkan Pemerintah Sumut tidak memberatkan perusahaan-perusahaan milik negara.
"Untuk yang dialami Inalum itu, perdanya agar tidak memberatkan, apalagi sampai membebani perusahaan aluminium terbesar itu," ujarnya.
Ia juga menjelaskan tentang pajak yang mesti diterapkan di suatu negara. Menurutnya, pajak itu harus mendukung kemajuan sebuah perusahaan dan tidak menghambat laju produksi di perusahaan tersebut.
"Dalam literatur itu, pajak tidak boleh mengganggu produksi dan distribusi. Jadi mestinya tidak boleh Pemerintah Sumut mempersulit pajak Inalum," jelas dia.
Gunadi mengibaratkan pajak bagi sebuah perusahaan seperti memelihara ayam. Dalam memelihara ayam, hasil yang diperoleh di antaranya adalah telur.
"Pajak itu ibarat piara ayam, harus dirawat baik-baik ayamnya. Telornya yang diambil, jangan ayamnya. Jadi jangan ayamnya disembelih. Telornya saja diambil, sehingga bisa terus berproduksi," cetusnya.
Gunadi juga mengungkapkan pentingnya kerjasama yang baik antara Pemprov Sumut dengan PT Inalum dan perusahaan-perusahaan BUMN lainnya. Selain kerjasama, Pemprov Sumut mestinya kata turut menjaga dan membina agar perusahaan di daerah Sumut tetap maju.
"Jadi Inalum ini harus dijaga bersama biar hidup, sehingga berkontribusi terhadap pajak daerah secara terus-menerus, jangan sampai Inalum bangkrut gara-gara masalah ini,” ujar dia.
"Pajak itu juga harus peka terhadap pertumbuhn ekonomi dan investasi."
Ketika disinggung tentang konflik berkepanjangan soal pajak sehingga harus dibawa ke Pengadilan Pajak, Gunadi menyayangkan hal itu terjadi. Mestinya kata dia, persoalan ini cukup diselesaikan di lingkungan Pemprov dan DPRD Sumut.
"Ini perlu intervensi DPRD dan Pemerintah, ini terasa memberatkan sekali. Ini kewenangan DPRD di sana untuk mengevaluasi secara berkelanjutan dan segera clear," tandasnya.
Diketahui, Persoalan kisruh PAP antara Inalum dengan Pemprov Sumut sebenarnya sangat mendasar, yakni soal perbedaan pandangan mengenai tafsir atas Pasal 9 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009. Dalam pasal itu disebutkan bahwa khusus penetapan harga dasar untuk pemakaian dan/atau pemanfaatan oleh pembangkit listrik sebesar Rp 75,-/Kwh.
PT. Inalum dikategorikan sebagai subjek pajak untuk pemakaian dan/atau pemanfaatan Air Permukaan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Pergubsu (sebagai pembangkit listrik).
Maka harga dasar Air Permukaan adalah sebesar Rp 75/Kwh yang berarti dihitung dari Kwh yang dihasilkan dan bukan berdasarkan kubikasi air mengalir untuk golongan industry K-I. Ini yang betul dan berkeadilan. (icl)