JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Diskusi di kalangan publik dan tokoh tentang rencana penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur merupakan sesuatu yang positif. Itu ditinjau dari prinsip keterbukaan informasi publik dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Demikian dikatakan oleh Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) RI Abdulhamid Dipopramono.
Perbincangan itu mencuat setelah Presiden Jokowi melontarkan kemungkinan dipakainya dana tabungan calon haji untuk membiayai pembangunan infrastruktur. “Sebagai Presiden memang sudah seharusnya menyampaikan gagasan-gagasan besar, kebijakan strategis, serta upaya terobosan kreatif dan berani untuk penyelesaian persoalan bangsa. Adapun urusan operasional atau terjemahan kebijakan itu merupakan tugas para menteri, pimpinan lembaga, tokoh terkait, pakar, dan pemangku kepentingan lainnya,” kata Abdulhamid, kepada TeropongSenayan di Jakarta, Kamis (2/8/2017).
Selama ini, menurut Abdulhamid, Presiden Jokowi memang sering melontarkan gagasan-gagasan dan kebijakan besar yang dinilai kontroversial, tapi sebenarnya bertujuan mengurai kebekuan persoalan bangsa yang sudah berlangsung sangat lama. Seperti soal tol laut, penyamaan harga BBM di Papua dengan daerah lain, prioritas membangun wilayah perbatasan/pinggiran, membangun jalan tol di pulau-pulau luar Jawa, pembangunan Blok Masela, dan lain-lain.
Gagasan-gagasan besar tersebut perlu menjadi bahan bahasan, kajian, dan solusi diskusi di level bawah Presiden. Tujuannya agar diketahui tingkat kelayakannya, hitungan risiko-risikonya, dan kemungkinan operasionalny. Hasilnya bisa saja terdiri dari beberapa alternatif. Bagi Presiden Jokowi sendiri, semua gagasan tersebut mengandung risiko yang tidak kecil dan mungkin membuatnya tidak populer.
Akan halnya ide keinginan Presiden Jokowi mendayagunakan dana tabungan haji yang dianggap “ngendon” di bank untuk membangun infrastruktur, hal tersebut ketika dia lontarkan belum merupakan suatu keputusan. Langkah ini baik dan menunjukkan sikap terbuka dalam pengambilan keputusan strategis dan mendasarkan pengambilan keputusan sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
“Dalam hal ini, Presiden telah membuka wacana untuk perumusan kebijakan yang akan diambilnya. Sebelumnya Presiden ingin memberi kesempatan kepada siapa pun, utamanya yang memiliki kompetensi, untuk mendiskusikan, memberi kritik, saran, dan masukan, sebagai dasar membuat keputusan,” kata Abdulhamid.
Ada yang berpandangan bahwa hal ini menimbulkan kegaduhan, namun sebenarnya merupakan kegaduhan yang positif untuk menjaring aspirasi dan sesuai prinsip keterbukaan informasi publik dalam pengambilan keputusan. “Di sinilah tantangan yang harus disambut oleh para pembantu Presiden dan para pemangku kepentingan untuk merumuskan secara pas terjemahan dari gagasan tersebut,” kata Abdulhamid.
Menurut dia, sangat boleh jadi keputusannya kemudian tidak menggunakan dana haji untuk pembangunan infrastruktur, atau sebaliknya, menggunakan. Hal ini tergantung kelayakan, risiko-risiko, dan aspirasi publik terhadap gagasan tersebut.
Jika dana tersebut akan dipakai, maka aparatur tingkat operasional di bawah Presiden harus merumuskan secara lengkap dan detail peta jalan (road map) yang akan ditempuh, yang hasilnya tidak merugikan tapi justru bermanfaat bagi para pemilik dana (calon haji), namun jelas kemanfaatannya bagi pembangunan dan kemajuan bangsa.
Abdulhamid berpandangan, hal ini tidak berbeda dengan keputusan Presiden ketika menerapkan tarif sama untuk harga BBM di Papua. Tugas PT Pertamina, kementerian dan lembaga terkait, serta Pemprov Papua untuk menerjemahkan operasionalisasi hal tersebut. Bisa jadi keuntungan PT Pertamina akan turun atau ada subsidi silang untuk itu. Hal itu merupakan risiko yang harus dicari solusinya oleh pelaksana kebijakan. [b]