JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Politisi PDIP Henry Yosodiningrat mengaku sakit hari terhadap pihak yang menyebut PKI tidak bersalah dan hanya korban tragedi 1965. Menurutnya, anggapan tersebut adalah upaya pemutarbalikkan fakta sejarah.
"Saya sakit hati dengan mereka yang mengatakan bahwa PKI tidak menculik dan tidak membunuh," tegas Anggota Komisi II DPR ini saat dihubungi di Jakarta, Jumat (22/9/2017).
Menurut dia, kekejaman yang dilakukan PKI bukan isapan jempol. Sebab, dirinya dan keluarganya pernah merasakan ancaman dan teror yang dilakukan PKI saat itu.
"Ketika pra peristiwa G 30 S PKI, saya masih ingat saat saya kelas 3 Sekolah Rakyat (SR).Waktu itu ayah saya sebagai camat di Kecamatan Balik Bukit Kab Lampung Utara (sekarang Lampung Barat).Saya sering melihat berbagai kegiatan underbownya PKI seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Gerwani. Saat itu saya merasakan suasana mencekam pascaperistiwa G.30.S PKI. Bahkan, saya pernah membaca daftar nama yang akan dibunuh oleh PKI di Kecamatan Balik Bukit ,diantaranya ayah saya dan beberapa ulama setempat," terang Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) itu.
Henry menilai, sebaiknya peristiwa kelam tahun 1965 tak perlu diungkit kembali dengan dalih menuntut hak sebagai korban. Menurut dia, biarkan hal itu menjadi potongan sejarah yang tak perlu diingat. Tidak elok pula ketika ada pihak yang mendorong serta meminta agar negara meminta maaf kepada PKI.
"Kejadian demi kejadian, bahkan sekarang mencuat terkenang kembali oleh para saksi-saksi mata yang sebenarnya sudah mencoba untuk memendam dalam-dalam ingatan itu karena sangat menyakitkan," tandasnya.
Namun, lanjut dia, hal tersebut menjadi berubah drastis setelah ada yang memutarbalikkan fakta seakan-akan PKI tidak menculik, tidak menyiksa, tidak menembak dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan biadab.
"Padahal para saksi mata korban kebiadaban PKI, keluarga ulama, kyai-kyai di Jatim, di Jateng masih hidup dan sanggup disumpah di bawah kitab suci," tegasnya. (plt)