Dalam sebuah pengajian di Majelis Reboan, Sarinah Jaya Blok M, Jakarta, sekitar 30 tahun lalu, Dr. Nurchlosih Madjid menyatakan bahwa tahun 1980-an adalah awal panen intelektual di Muhammadiyah. NU panen intelektualnya, kata Nurcholish Madjid, tahun 2000-an.
Usai lulus UGM, saya waktu itu, tahun 1985, bekerja jadi peneliti kimia radiasi di BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) Pasar Jumat, Jakarta. Meski demikian, saya sering mengikuti pengajian Reboan yang diadakan tokoh-tokoh intelektual Islam di Jakarta. Saya diperkenalkan dengan Majlis Reboan oleh Pak Djohan Effendi, editor buku “Pergolakan Islam Ahmad Wahib”, Mensesneg era Presiden Abdurrahman Wahid.
Mendengar pernyataan Cak Nur – panggilan akrab Nurcholish Madjid -- saya jadi teringat awal tahun 1980-an ketika Dr Amien Rais baru pulang dari Amrik. Jagad Islam Yogya waktu itu benar-benar “heboh” dengan kedatangan seorang doktor ilmu politik dari Chicago University. Maklumlah di tahun itu, yang namanya orang bergelar doktor masih jarang sekali di Yogya. Apalagi dari Amerika. Dan muncul dari kalangan Muhammadiyah.
Di Yogya saat itu, intelektual Islam yang ngetop dan sering diundang ceramah (karena lulusan Amrik) adalah Ir. Syahirul Alim, Msc dan Drs. Saifullah Mahyudin, MA. Pak Syahirul Alim adalah dosen FMIPA UGM dan Pak Saifullah dosen Fisipol UGM. Pak Amien, karena doktor, lebih ngetop dari keduanya.
Waktu itu, nyaris tiap hari ada pernyataan Pak Amien yang dikutip media massa tentang berbagai hal, khususnya politik dan Islam. Saya juga penasaran terus dengan ceramah-ceramah Pak Amien. Saking “cintanya” pada Pak Amien saya pun sering “nguping” di Dagen – kantor cabang HMI Yogya – di mana saja Pak Amien ceramah hari itu. Saya pernah mengejar ceramah Amien Rais sampai pelosok Kaliurang, Bantul, Kulonprogo dan Gunung Kidul. Saya senang dengan ceramah-ceramah Pak Amien yang well-educated, militan, dan informatif.
Setelah saya tinggal di Asrama masjid Syuhada, saya usul kepada ta’mir masjid untuk mengundang Pak Amien sebagai penceramah dalam berbagai acara. Mulai hari-hari besar Islam, hari-hari besar nasional, pembukaan program Pendidikan Kader Masjid Syuhada, ceramah Ramadhan, dan lain-lain. Panitia tak usah repot, saya sendiri yang menjemput Pak Amien di rumahnya di Condong Catur, Sleman pakai sepeda motor.
“Ya, kapan lagi bisa ngobrol dengan doktor hebat dari Chicago ini,” batin saya. Njemput Pak Amien dari rumahnya ke masjid Syuhada, sekitar 20 menit, saya manfaatkan untuk ngobrol macam-macam tentang Islam. Ngangsu kawruh dari Pak Amien yang hebring itu.
Amien Rais adalah panen pertama intelektual Muhammadiyah. Pak AR dalam berbagai ceramahnya juga sangat bangga dengan Pak Amien. Pak Amien, mungkin, kader Muhammadiyah pertama yang mendapat gelar doktor dari Amrik saat itu.
Saya mbatin, ini orang hebat sekali. Ganteng, pinter, trengginas, mauan (mau saja diminta ceramah di mana pun oleh siapa pun di Yogya), dan militan. Pak Amien itu tak hanya militan Islam, tapi juga militan anti-Amrik, padahal sekolahnya di Uncle Sam. Kenapa anti Amerika? Soal Iran penyebabnya. Pak Amien adalah pengagum Imam Khomeini, sedangkan Amrik musuhnya. Perang Iran-Irak di mana Irak dibantu Amrik membuat Pak Amien makin kesal.
Atmosfir Yogya awal-awal tahun 1980-an memang dipenuhi aroma Amien Rais, Iran, dan Imam Khomeini. Itu pula yang mengilhami teman-teman di asrama Cikditiro 19A membuat “Pom Bensin Iran Oil”. Pak AR juga senang dengan nama Iran Oil tersebut.
Pak AR tampaknya kesengsem sama Pak Amien. Beliau sering memuji kedoktoran kader Muhammadiyah asal Solo itu. Dalam sebuah ceramah terawih di Gelanggang Mahasiswa UGM, Pak AR menceritakan “kegundahannya” karena tidak melanjutkan sekolah sampai universitas sehingga mendapat gelar sarjana.
Saya sebetulnya ingin kuliah seperti kalian, ungkapnya. Beruntunglah kalian yang bisa mengenyam pendidikan di perguraan tinggi, apalagi di UGM, universitas terbesar di Indonesia. Pak AR bercerita, waktu bertugas di Semarang, dirinya berniat sungguh-sungguh ingin melanjutkan studi ke universitas. Tapi sayang, gagal.
“Saya mendaftar jadi mahasiswa Universitas Sultan Agung (Unisula), Semarang. Saya ikuti prosedur seperti mengisi pendaftaran dan mengikuti tes masuk. Setelah hasil test masuk diumumkan, ternyata nama saya tidak ada,” kisahnya.
“Saya tidak lulus tes,” kata Pak AR.
“Sedih sekali, saya tidak bisa melanjutkan kuliah di Unisula. Tapi beberapa hari kemudian, saya dapat surat dari rektor untuk menghadap.”
“Wah ada apa nih,” kata Pak AR.
“Saya deg-degan,” ungkapnya.
Setelah menghadap, rektor menanyakan apa benar Pak AR mendaftar jadi mahasiswa Unisula.
“Saya jawab, benar.”
“Saya memang ingin kuliah Pak Rektor,” kata Pak AR serius.
“Begini, kami jadi tahu Pak AR berminat besar dengan dunia pendidikan setelah Bapak mendaftar untuk kuliah di sini,” kata Rekor Unisula seperti dituturkan Pak AR.
Untuk itu kami beserta jajaran dosen sudah rapat dan memutuskan ingin mengangkat Pak AR jadi dosen Agama Islam di Unisula.
“Pak rektor saya ingin kuliah, bukan jadi dosen,” kata Pak AR.
“Ya Pak, saya tahu, tapi Unisula inginnya Pak AR jadi dosen di sini,” kata rektor.
Jamaah terawih pun terpingkel-pingkel mendengar kisah itu, padahal Pak AR serius menceritakan dirinya yang ingin kuliah, apa adanya.
“Begitulah nasib saya anak-anak. Ingin kuliah, malah diminta jadi dosen. Akhirnya saya tidak jadi kuliah, dan nasibnya seperti ini. Tidak punya gelar.”
Konon, gegara dosen agamanya Pak AR, ruangan kuliah selalu penuh. Mahasiswa yang tidak ambil mata kuliah Agama Islam pun, ikut menghadiri kuliah Pak AR. Maklumlah, kuliahnya mengasikkan, lucu, dalam, dan nggak mbosenin.
Pak AR memang tidak kuliah. Pendidikannya dari madrasah ke madrasah. Dari kyai ke kyai. Persis seperti santri-santri NU. Tapi, jangan remehin dulu. Jangan kira para santri model Pak AR itu ilmunya dangkal. Malah sebaliknya. Ilmunya dalam sekali.
Kenapa? Pendidikan ala pesantren ini dilakukan sangat intensif. Santri diajarkan untuk tidak hanya mengerti pelajaran, tapi juga harus menghapal pelajaran.
Saya ingat sekali, waktu masih sekolah di madrasah pesantren di Tegalgubug, tiap hari Sabtu ada setor hapalan pelajaran. Jika tak hapal, berdiri di depan kelas. Kalau gurunya galak, berdirinya di atas batu yang panas di siang hari. Akibatnya, kalau hari Jumat dan malam Sabtu, para santri mojok di sudut pondok untuk menghapal agar besoknya tak kena hukuman. Sistem pengajaran seperti ini membuat anak-anak santri kaya ilmu dan hapalan.
Orang seperti Prof. Mahfud, MD (mantan Ketua MK dan Menhankam, yang berbasis pesantren di Madura), misalnya, cepat sekali menerima pelajaran ketika kuliah di UII. Studi ilmu hukum yang banyak logika dan hapalannya langsung dikuasai dengan cepat oleh Mahfud. Bagi Mahfud yang terbiasa di pesantren, kuliah di UII mungkin terlalu ringan. Makanya Mahfud pun kuliah lagi di Fakultas sastra UGM.
Teman saya, Ahmad Baedowi – direktur Yayasan Pendidikan Sukma dan wartawan senior Media Indonesia -- alumnus Ponpes Asy-Syafiiyah, Jatiwaringin, Jakarta, juga melakukan hal yang sama seperti Mahfud. Di samping kuliah di IAIN, juga kuliah di UGM. Juga almarhum Rizal Panggabean, dosen Fisipol UGM. Alumnus Ponpes Modern Gontor itu, kuliah dobel, di IAIN dan juga UGM.
Saya yakin kebanyakan mahasiswa yang kuliahnya dobel-dobel dalam satu periode di Yogya, berasal dari pesantren. Ini karena anak pesantren haus ilmu. Hanya belajar di universitas, masih dianggap kurang.
Kenapa? Santri tak butuh malam mingguan. Tak butuh nonton film. Tidak butuh pacaran. Jadi waktunya banyak. Sehingga mereka ingin memanfaatkan waktu luangnya dengan kuliah lagi di perguruan tinggi yang lain. Orang santri hapal betul hadist yang menyatakan, uthlubul ilma minal mahdi ilal lakhdi. Carilah ilmu mulai dari ayunan (lahir) sampai kuburan (mati). Bagi para santri, mencari ilmu itu wajib dan dapat pahala. Hadist inilah yang melecut santri untuk belajar dan belajar sampai tua. Sampai mati. Dalam istilah sekarang, santri telah melaksanakan long life education.
Saya, santri tanggung yang ngalong (tidur di rumah, ngaji di pondok) ingin kuliah dobel waktu di Yogya. Tapi karena bokek, bisanya hanya mengikuti seminar atau diskusi untuk nambah ilmu. Enaknya lagi, kalau ikut seminar dan diskusi, dapat makan gratis. Ini penting lho! untuk mahasiswa kere seperti saya.
Saya paling sering ikut diskusi di Fakultas Filsafat UGM dan Fakultas Ushuludin IAIN. Itulah sebabnya, saya dekat dengan Prof. Damardjati Supadjar (almarhum), guru besar di Fakultas Filsafat UGM dan Prof. Musa Asy’ari, guru besar di Fakultas Ushuludin IAIN Yogya. Lucu, sampai sekarang Pak Musa – cerita Alvin, teman kuliah di MIPA UGM ketika mertamu di rumah mantan rektor IAIN itu – mengira Simon saat kuliah di Ushuludin. Mungkin Pak Musa ingat saya kar banyak ngomong saat diskusi dengan anak-anak Ushuludin di kampus IAIN, di Kaliurang, dan di rumahnya.
Ada sebuah kata-kata mutiara (kamut) di pondok pesantren yang selalu diucapkan santri, guru dan kyai: Man jadda wajada. Artinya, siapa yang bersungguh-sungguh, maka akan ngunduh.
Kamut ini sangat populer di Ponpes Gontor. Dalam novel berjudul “Negeri 5 Menara” -- sang pengarang Ahmad Fuadi – alumnus Gontor dan Unpad – menceritakan bagaimana kalimat “Manjadda Wajada” menjadi begitu ikonik di telinga para santri. Kalimat “manjadda wajada” inilah yang melecut santri Gontor untuk selalu menjadi the best one di mana saja berada.
Orang-orang yang pernah nyantri, kemudian kuliah, hampir pasti sukses. Belajar di universitas jauh lebih ringan dibanding dengan belajar di pesantren. Di pesantren ada setor hapalan dan ujian tiap minggu. Guru dan kyai juga selalu peduli persoalan santrinya, khususnya dalam mencerna pelajaran. Ini karena mereka tinggal di satu atap yang sama, pondok pesantren. Karena itu dalam otak santri, yang ada hanya belajar dan belajar.
Tapi yang lebih unik, kata Prof. Komarudin Hidayat (Guru Besar Psikologi Islam di UIN Ciputat), alumnus Ponpes Pabelan, Magelang, di pesantren ada ilmu lain yang sangat berharga. Yaitu ilmu keteladanan. Ilmu kewibawaan . Dan ilmu keikhlasan. Ilmu-ilmu tersebut, kata Prof. Komarudin, tidak dimilki sekolah dan perguruan tinggi umum. Tidak gampang mengajarkan ilmu keteladanan kepada murid, misalnya. Sebab ilmu tersebut nempel di diri sang guru. Kalau gurunya amoral, sebanyak apa pun jam mengajarnya, sebaik apa pun penguasaan ilmunya, maka akan sia-sia. Murid-murid tak akan bisa menerimanya.
Ilmu kewibawaan juga sulit mengajarkannya. Ilmu ini, meski bisa dipelajari, tapi sering inheren dengan faktor genealogis (nasab), wawasan, kearifan, dan kepribadian. Sulit dipelajari. Tapi di pesantren, murid bisa melihat ilmu tersebut dari akhlak kyainya.
Sedangkan ilmu khlas, paling sulit dipelajari. Ini karena ilmu keikhlasaan terkait dengan keimanan seseorang terhadap Gusti Allah. Ilmu keikhlasan sulit diukur secara parametris, tapi bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari dari orang bersangkutan. Demiz (Dedy Mizwar) dalam sinetron religi “Kiamat Sudah Dekat” bagus sekali menggambarkan orang yang menguasai ilmu ikhlas.
Sinetron ini menceritakan tentang jatuh cintanya seorang rocker, Fandy, pada gadis ayu berjilbab, Sarah. Sarah adalah putri Haji Romli, tokoh Islam Betawi. Setelah berusaha kenal dengan Sarah, Fandy akhirnya berani menemui Haji Romli dan mengutarakan niatnya untuk meminang Sarah. Namun sayang, Sarah telah dijodohkan dengan Farid, seorang pemuda yang masih kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo, putra teman Haji Romli.
Jelas, Haji Romli tidak mau menikahkan anaknya dengan rocker yang buta agama itu. Bahkan ketika ditanya apakah ia sudah khitan, Fandy tidak tahu. Saking buta agamanya. Namun kenekatan Fandy membuat H. Romli memberinya kesempatan dengan beberapa syarat ketat -- ia bisa salat, mengaji dan menguasai ilmu ikhlas.
Fandy bingung, minta bantuan kepada siapa agar memenuhi persyaratan Haji Romli. Beruntung, ia kenal dengan Saprol, remaja kecil penggila musik rock. Fandy pun belajar salat dan mengaji pada remaja kecil tersebut. Teman-teman band rocknya heran, kenapa Fandy berubah. Fandy bilang, karena “Kiamat Sudah Dekat” men.
Singkat cerita, Fandy pun lulus. Bisa salat dan ngaji. Tapi ilmu ikhas? Inilah yang sulit. Farid yang lulusan Al-Azhar, jelas merasa lebih unggul ketimbang Fandy. Termasuk dalam menguasai ilmu ikhlas. Lantas, Farid minta segera dinikahkan dengan Sarah. Dalam kondisi itulah, Fandy menyerah. Pasrah kepada Allah. Ia bilang kepada Haji Romli, ikhlas jika Sarah menikah dengan Farid, asalkan mereka bahagia. Di saat itulah, Haji Romli langsung memeluk Fandy.
"Fandy, kaulah yang berhasil menguasai ilmu ikhlas. Kau lulus jadi menantu saya,” ujar Haji Romli haru.
Fandy pun kaget. Tapi senang karena keikhlasannya membuahkan hasil manis. Bisa menikahi Sarah, putri Haji Romli yang cantik tadi.
Apa arti semua itu? Kepemilikan Ilmu ikhlas tidak terkait dengan banyaknya ilmu agama seseorang. Ilmu ikhlas adalah ilmu hati; ilmu untuk mendengarkan suara Tuhan di nurani yang jernih. Ini sulit diraih jika orang masih suka iri, menyombongkan diri, dan sok suci. Ilmu ikhlas inilah yang hampa di pendidikan kita kini.
Di pesantren, ilmu ikhlas diajarkan melalui berbagai riyadoh atau latihan. Seperti puasa Nabi Daud, tirakatan, tadarusan, wiridan, salawatan, uzlah, ngenger kepada kyai, dan praktek-praktek tasawuf lainnya.
Tapi Demiz mengajukan cerita lain. Ilmu ikhlas pun bisa didapat orang yang ilmu agamanya dangkal seperti rocker, asal imannya jalan dan hatinya bagai lautan. Luas dan mau menerima apa pun tanpa pamrih. Ini terjadi karena ikhlas bukan urusan ilmiah. Tapi urusan hati manusia.
Dalam sinetron “Kiamat Sudah Dekat“ besutan Demiz di atas, sang sutradara tampaknya ingin mengangkat fenomena baru kaum urban : biar rocker tampilannya, tapi ikhlas hatinya. Musik boleh hingar bingar, tapi firman Tuhan tetap didengar. Walhasil, Demiz memang hebring untuk urusan sinema. Entah urusan Pilkada.
Dalam Musyawarah Kerja Nasiopnal (Mukernas) PPP di Ancol, Agustus 2017 lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan, pondok pesantren adalah benteng pertahanan moral terakhir yang dimiliki bangsa Indonesia. Di dunia sibernetik yang serba cepat dan instan, moralitas manusia sangat rapuh. Melakukan judi, korupsi, dan bisnis obat mati (seperti narkoba), hanya satu “klik” di hape atau laptop. Selesai. Manusia di era medsos rentan gila dan kropos moral. Di sisi lain, guru dan penjaga moral plus akhlak sangat langka, kecuali di pesantren -- kata Pak Jokowi.
Di pesantren, kata Presiden, ada ustad, ada kyai, dan ada ulama yang terus membimbing moral atau akhlak para santri, di samping mengajar ilmu agama dan ilmu umum. Pesantren adalah aset masa depan bangsa Indonesia yang harus dipelihara dan dikembangkan.
Pak Jokowi benar. Tapi, kata Dr. Reni Marlinawati, anggota DPR dari Fraksi PPP, pemerintah dari masa ke masa masih menganaktirikan pesantren. Ini bisa dilihat dari anggaran bantuan untuk pesantren yang kecil sekali dibandingkan untuk pendidikan umum. Menindaklanjuti pernyataan Presiden Jokowi, kata Reni Marlinawati, PPP menginisiasi penyusunan RUU Pendidikan Agama dan Pesantren. Dengan adanya UU Kependidikan Agama dan Pesantren, peran pemerintah dalam membantu pengembangan pesantren teregistrasi dalam APBN. Skema bantuan finansialnya jelas. Tak nebeng dari Kemendikbud seperti selama ini, jelas Reni.
Pak Jokowi adalah pribadi yang cinta santri. Dalam Mukernas PPP, misalnya, beliau sangat hormat kepada Mbah KH Maimun Zubair, pengasuh Ponpes Al Anwar, Sarang, Rembang (yang juga Ketua Dewan Syura partai Ka’bah itu). Bahkan untuk menghormati Mbah Maimun, Pak Jokowi memakai sarung waktu datang ke Mukernas seperti halnya Mbah Yai, agar tidak kikuk menemui orang yang sangat dihormatinya tadi.
Kenapa Presiden ingin dekat dengan kyai pesantren? Presiden punya harapan, pesantren jadi basis pendidikan moral dan akhlak bangsa Indonesia di masa depan. Dan Pak Jokowi obsesif dengan pendidikan moral dan akhlak tersebut. Sebab, kata Pak Jokowi, jika akhlak dan moral manusianya hancur, Indonesia akan lebur. Untuk itu pulalah – atas nama negara -- Presiden meresmikan Hari Santri Nasional, 22 Oktober. Hari Santri itu penting, di samping untuk mengingatkan kita pada peran kyai dan santri dalam perang kemerdekaan, juga untuk mengingatkan negara akan pentingnya pondok pesantren di masa depan.
Pak AR adalah santri. Karena itu Pak AR punya harga diri; mewarisi keteladan kyai dan mengikuti sunah Nabi. Sikap-sikap seperti inilah yang menjadikan Pak AR dicintai umat. Pak AR ingin keteladanan Rasulullah itu tersebar. Sebagai ulama yang nota bene pewaris nabi (warasatul anbiya), tak ada cara lain dalam berdakwah kecuali mengikuti teladan Baginda Rasulullah.
Teladan Pak AR – seperti halnya keteladanan Rasul -- adalah kesejukan sikapnya. Kedamaian hatinya. Dan salam ucapannya. Tak ada agama di dunia -- kata Annemarie Schimmel, Islamolog dari Harvard University --- yang umatnya selalu mengucapkan doa kedamaian (salam), kerahmatan, dan keberkahan bila bertemu dengan sesamanya seperti Islam. Ucapan Salam dalam Islam, tulis Schimmel, adalah deklarasi perdamaian paling universal yang ada di muka bumi. Dan Pak AR melakukannya sebagai akhlak kesehariannya.
Itulah Pak AR, produk madrasah dan pesantren. Tinggi ilmunya, rendah hatinya. Sederhana hidupnya, sejuk akhlaknya. Salam (damai) ucapannya, Allah tujuannya.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #