JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Menyoroti maraknya aksi pembajakan musik di Indonesia, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Taufiqulhadi menekankan perlunya regulasi untuk menciptakan iklim kondusif bagi industri musik dalam negeri.
Legislator dari Dapil Jatim IV ini merasa miris, terutama dengan sulitnya penggiat industri kreatif memperoleh manfaat dari hak cipta.
"Padahal telah dituangkan dalam pasal 95 Ayat 4 UU 28/2014. Aturannya sudah jelas. Tapi ternyata musisi sulit menuntut hak atas hasil kerja seninya di hadapan penegak hukum," ungkapnya dalam keterangan pers kepada TeropongSenayan, Selasa (31/03/2015).
Dalam pasal 95 ayat 4 UU Nomor 28 tahun 2014 berbunyi, Selain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.
Menurut dia, UU Nomor 28/2014, memang tidak secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan industri musik di Indonesia. Karenanya ia merasa perlu penyempurnaan, lebih jauh lagi perlunya membuat regulasi yang dapat membangun iklim kondusif bagi industri musik di Indonesia. Karena itu, perlu ada regulasi yang tegas yang mampu membuat kondusif industri musik.
"Jangan banyak regulasi tapi tidak mampu membuat kondusif industri musik, itu namanya regulasi mandul," tambahnya.
Seperti diketahui, nilai konsumsi musik rekaman di Indonesia setiap tahun diperkirakan Rp 5 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak 90 persen atau Rp 4,5 triliun masuk ke kantong pembajak yang menyebabkan kerugian negara dan musisi.
Nilai kerugiannya itu jika dihitung hasil karya pendekatan konsumsi masyarakat Indonesia akan musik sebesar Rp 20.000/tahun. Jumlah ini dikalikan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta jadi mencapai Rp 5 triliun/tahun.(yn)