JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Posisi pemerintah Indonesia dinilai sangat lemah menghadapi PT Freeport terkait negosiasi perpanjangan kontrak. Alasannya AS melakukan intervensi dan tekanan politik.
Menurut Ketua Komisi VI DPR Achmad Hafisz Tohir, kepentingan politik sangat besar ketimbang persoalan bisnis dibalik negosiasi terhadap Freeport. "Memutus Freeport berarti membangunkan bintang kejora," katanya kepada TeropongSenayan di Jakarta, Rabu (8/4/2015).
Padahal, kata Hafisz, perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia mestinya tunduk pada aturan yang berlaku di Indonesia. "Kelemahannya di sisi negosiasi antara pemerintah kita dengan Freeport. Memang Freeport ini swasta, tapi mineralnya diatur oleh negara sesuai dengan UU dan juga UUD, maka pemerintah turun tangan mengatur itu. Sisi lemahnya ada pada kepentingan yang lebih besar," terangnya.
Diakui Hafisz, pemerintah lebih melihat aspek keamanan di Papua. Kalau bicara pendekatan profesional mestinya Freeport sudah ditutup. Namun hal itu tidak mungkin terjadi. "Saya juga melihat hal lain ketika Freeport didirikan pada 1960-an ketika jaman Pak Harto mengambil alih kekuasaan," tegas anggota Fraksi PAN.
Pemerintah sulit untuk memutus kerjasama dengan Freeport, kata lanjut adik kandung Hatta Radjasa, karena harus berhadapan dengan isntitusi yang besar. "Karena sudah beberapa kali negosiasi, kita sebagai pihak yang merugi terus, artinya ada sesuatu benda besar yang tidak bisa kita angkat," terang anggota DPR dari Dapil Sumsel 1. (ec)