JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Pakar hukum tata negara (HTN) Margarito Kamis menilai, munculnya pasal larangan penghinaan terhadap anggota DPR RI dalam UU MD3 dan penghinaan terhadap Presiden RI dalam revisi UU KUHP, justru mempertegas kecenderungan feodalisme, tirani dan menciptakan monster pidana bagi rakyat Indonesia.
“Kalau di UU MD3 ada larangan penghinaan dan pemanggilan paksa anggota DPR dan larangan penghinaan Presiden RI dalam revisi KUHP, itu sama saja mengundang tirani dan menciptakan monster pidana bagi rakyat,” tegas Margarito di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (27/3/2018).
Hal itu disampaikan dalam forum legislasi ‘Revisi UU KUHP’ bersama anggota DPR RI Sodik Mujahid (Gerindra), M. Nasir Djamil (PKS), Bivitri Susanti dan Abdul Fikar Hajar.
Padahal, kata dia, di dunia sudah berabad-abad diperjuangkan anti tirani tersebut, tapi kini malah akan dihadirkan kembali ke Indonesia. “DPR dan presiden itu tak bisa dipersonalisasi. Sehingga siapapun nantinya bisa menjadi anggota DPR maupun presiden,” jelas Margarito.
Bersamaan itu pula Margarito mendukung dihidupkan kembali haluan negara atau semacam BGHN, agar tidak setiap pergantian presiden dan DPR RI, berganti pula aturan hukumnya. “Jadi, hidupkan kembali GBHN demi kemaslahatan bangsa,” pungkasnya.
Selanjutnya, Bivitri juga pesimis DPR bisa merampungkan 730-an pasal KUHP dengan baik, sistematis, profesional dan berkualitas. Karena banyak anggota DPR yang berlatarbelakang politisi dan bukannya ahli hukum, apalagi hukum pidana.
“Dengan keputusan 730-an pasal itu apakah dampak hukum dan pelaksanaan teknis berikut infrastrukturnya sudah disiapkan? Misalnya, kalau makin banyak orang yang dipidana dan dipenjarakan, apakah Lapas sudah menampung mereka?” katanya.
Dengan demikian, Bivitri tidak yakin, revisi KUHP ini akan menjawab persoalan hukum pidana yang dihadapi saat ini. “Secara substansi pun tidak yakin akan lebih baik, karena mayoritas dewan adalah politisi,” pungkasnya.
Sementara itu, Abdul Fikar menyebut, hukum pidana sudah maju termasuk terkait kebebasan informasi publik. Bahkan ada kemauan untuk menyatukan (kodifikasi) hukum pidana, karena sebelumnya sebagai dekolonialasi UU dari buatan Belanda menjadi produk Indonesia.
“Memang tidak semua nilai dalam KUHP itu negatif. Untuk kasus penghinaan, karena UU ini dibuat di masa kerajaan, dimana rakyat dilarang menghina raja. Juga tidak menyentuh pasal perzinahan yang dilakukan di luar ikatan pernikahan,” jelas Fikar.
Terpenting kata dia, harmonisasi UU KUHP ini tidak bertentangan dengan UU yang lain. Seperti UU Teroris, Tipikor, Narkotika dan lain-lain secara umum. "Tak ada yang khusus, sehingga penanganannya juga biasa-biasa saja,” ungkapnya. (Alf)