JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Politikus PDIP Adian Napitupulu mengaku heran dengan langkah Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang menginisiasi pembentukan pansus angket Perpres Tenaga Kerja Asing (TKA).
"Entah Fadli Zon lupa atau pura-pura tidak tahu sejarah saat ini Fadli Zon mati-matian menuding Jokowi ada di belakang masuknya Tenaga Kerja Asing. Berlagak bagai pahlawan kesiangan Fadli bahkan mengancam akan mengajukan pansus hak angket terkait Perpres 20 tahun 2018," kata Sekjen PENA 98 itu kepada wartawan di Jakarta, Senin (30/04/2018).
Menurut Adian, mereka yang berpendidikan dan mengerti sejarah, tentu tahu bahwa yang membuka pintu gerbang masuknya tenaga kerja asing saat ini bukanlah keputusan Jokowi.
"Itu kan keputusan yang di ambil oleh mertua Prabowo yaitu Soeharto yang embrionya sudah di desain sejak tahun 1989 saat Soeharto menyetujui usul Bob Hawke untuk bergabung di APEC," sindir Anggota Komisi VII DPR itu.
Dijelaskan Adian, pertemuan pertama APEC tahun 1993 di prakarsai oleh Presiden Amerika saat itu yaitu Bill Clinton dan PM Australia Paul Keating di pulau Blake.
Setahun kemudian, terang dia, pertemuan APEC tahun 1994 di Bogor menghasilkan Bogor Goals isinya adalah mendorong investasi terbuka Asia Pacifik yang ditargetkan di mulai 16 tahun kemudian yaitu tahun 2010.
"Selanjutnya pada tahun 1995 di bentuklah AFTA (Asean Free Trade Area) dan atas keputusan Soeharto Indonesia ikut bergabung di dalamnya. AFTA ini kelak di kemudian hari menjadi cikal bakal MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dengan limitasi waktu pasar bebas di mulai dari tahun 2015," ungkapnya.
Bahkan, kata dia, pematangan AFTA terus berlanjut hingga KTT ASEAN (Tidak resmi) pada bulan Desember 1997 dilanjutkan KTT ASEAN di Hanoi Vietnam pada bulan Desember 1998 yang menghasilkan Statement Of Bold Measures, yang isinya meneguhkan komitmen pelaksanaan AFTA yang di percepat satu tahun dari 2003 menjadi 2002.
Selain itu, terang dia, sebagai upaya lanjutan di KTT tahun 2001 di Brunei di bentuk lagi CAFTA (China Asean Free Trade Area) yaitu perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Negara China selama 10 tahun. Pengesahan CAFTA selanjutnya di lakukan pada tahun 2008.
"Berangkat dari sejarah panjang lahirnya Pasar Bebas Barang, Jasa dan Tenaga Kerja di Indonesia yang di mulai dari tahun 1989 tersebut di atas, maka sepertinya pantas jika Soeharto diangkat menjadi Bapak Tenaga Kerja Asing," tandasnya.
Disisi lain, menurutnya, niat Fadli Zon untuk mempansuskan Perpres 20 tahun 2018 tidaklah tepat.
"Jika mau di pansuskan maka baiknya yang di pansuskan adalah keputusan awal Indonesia bergabung di APEC dan serangkaian hasil keputusan Internasional lainnya yang terkait dengan pasar bebas barang, jasa serta tenaga kerja yang semua itu di putuskan sebelum Jokowi menjadi Presiden," tegas Adian.
Namun pertanyaan selanjutnya, kata dia, masalah pertama adalah apakah Fadli Zon punya keberanian untuk mempansus angketkan Soeharto yang notabene adalah mertua Prabowo.
"Masalah ke dua, apakah bisa DPR mempansus angketkan orang yang sudah meninggal dunia dan tidak lagi bisa di panggil DPR untuk di mintai keterangan dan penjelasannya?," sindirnya.
"Masalah ke tiga, kenapa Fadli Zon yang diangkat Soeharto menjadi anggota MPR dan dilantik pada tanggal 19 Agustus 1997 tidak menolak pelaksanaan dan keputusan-keputusan Soeharto yang terkait dengan pasar bebas termasuk menolak hasil KTT ASEAN di Hanoi tahun 1998, padahal MPR saat itu kedudukannya adalah Lembaga Tertinggi Negara yang berada di atas Presiden," dia menjelaskan.
Karenanya, Adian menilai Fadli Zon terbukti tidak pernah konsisten.
"Mulutnya menolak komunisme tapi tangannya mengantar mawar merah ke makam Karl Marx, mulutnya menolak Komunis tapi tangannya merangkul patung Lenin dan meyebut Lenin dengan kata Kamared yang berarti saudara separtai," sindir dia.
Sangat aneh, kata dia, Fadli Zon dulu sebagai anggota MPR setuju pasar bebas barang, jasa dan tenaga kerja tapi sekarang menolak buah dari rangkaian perjanjian pasar bebas yang di buat di masa Soeharto.
Dengan begitu, lanjut dia, kini pilihan Jokowi hanya dua.Pertama, menolak rangkaian perjanjian internasional pasar bebas yang embrionya sudah di desain 29 tahun lalu dengan konsekuensi Indonesia menjadi lawan dunia Internasional dan mungkin saja terkena aneka macam sanksi apakah embargo atau lainnya.
Pilihan Jokowi yang ke dua adalah berupaya memperlambat dan melakukan pengetatan dengan berbagai kebijakan agar ada nafas lebih panjang bagi Indonesia untuk mempersiapkan diri menghadapi pasar bebas barang, jasa dan tenaga kerja buah dari keputusan Soeharto 29 tahun lalu salah satunya dilakukan Jokowi dengan mengeluarkan Perpres 20 tahun 2018 yang salah satu substansi isinya mengatur tentang sanksi TKA yang tidak di atur di peraturan sebelumnya. (Alf)