JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pakar Hukum Pidana dari Universitas Bung Karno (UBK) Azmi Syahputra mengingatkan agar partai politik segera melakukan kontemplasi dan berkaca diri atas apa yang terjadi akhir-akhir ini.
Hal ini menyusul dari sekian banyaknya kepala daerah yang notabenenya adalah kader partai terjaring operasi tangkap tangan (ott) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Azmi, hal bisa jadi karena sistem yang ada di partai sangat rapuh. Baik itu sistem kaderisasi, rekruitmen dan lain sebagainya.
Selain itu, lanjut dia, ada juga beberapa faktor yang membuat sejumlah kepala daerah terjerat OTT KPK akhir-akhir ini.
"Pertama, ongkos politik dalam ajang pemilihan kepala daerah begitu tinggi," papar Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) itu kepada wartawan di Jakarta, Senin (11/06/2018).
Kedua, sambung dia, kemajuan teknologi informasi memudahkan masyarakat untuk mengadukan segala tindak tanduk pejabat publik yang tidak transparan.
"Masyarakat yang punya kepedulian dan berjiwa merah putih pastinya akan senantiasa mengontrol segala tindak tanduk para pejabat publik yang dianggap menyimpang. Lalu kemudian dengan sadar masyarakat type ini atau masyarakat sadar hukum ini dengan penuh kesukarelaan melaporkan para pejabat yang dianggap menyimpang ke aparat penegak hukum dalam hal ini KPK," katanya.
"Ketiga, adanya friksi didalam lingkaran elit politik itu sendiri hanya karena distribution of power yang tidak merata dan pada akhirnya saling sikut. Dan ujungnya elit yang gak kebagian remah-remah kekuasaan misalnya bisa saja melaporkan apa yang dilakukan rivalnya yang berpotensi memiliki pelanggaran hukum kepada KPK," ujarnya.
Dengan demikian, menurutnya lagi, semakin meningkatnya ott pejabat negara yang dilakukan KPK menjelang pemilukada 27 juni 2018 yang kini jumlahnya sudah belasan, ditambah kasus OTT beberapa hari lalu dimana Bupati Blitar dan Bupati Tulung Agung ikut menyerahkan diri ke KPK menambah rentetan daftar korupsi kepala daerah .
Kedua jenis kelompok inilah, menurutnya, yang menjadi bagian mitra KPK untuk mengungkap ott yang dilakukan oleh kepala daerah menjelang pemilukada serentak tahun 2018.
"Secara personil KPK yang terbatas tentu KPK lebih mudah dengan dibantu partisipasi keterlibatan partisipasi dari kedua jenis kelompok masyarakat ini," tuturnya.
Lebih lanjut Azmi menyampaikan Pilkada serentak tahun 2018 ini lebih kental dengan perilaku aroma OTT dibanding formulasi solusi atau program unggulan kampanye dari calon.
"Karenanya pemerintah maupun partai politik perlu melakukan pengkajian dan evaluasi terhadap pilkada langsung karena kenyataan berapa kali ott dijadikan momentum agar menjadi yang terakhir faktanya selalu terjadi lagi," ujarnya.
"Biaya besar dan anggaran politik yang mahal membuat calon kepala daerah lebih rentan untuk berbuat ceroboh dan curang dengan melakukan tindakan korupsi," tambah dia.
Adapun biaya pilkada tersebut, terang dia, antar lain bayar perahu partai, biaya koalisi partai, bayar biaya kampanye, biaya sosialiasi dan biaya untuk relawan pendukung maupun hal-hal teknis lainnya yang harus disiapkan oleh calon kepala daerah.
"Namun apapun alasannya aroma pilkada rasa ott ini merupakan wujud kerja KPK karenanya patut dan harus diapresiasi dan jempol buat KPK yang terus peka dan bergerak menumpas tindakan korupsi yang dilakukan penyelenggara negara apalagi yang berasal dari kader partai," tegas Azmi.
Dikatakannya, korupsi sangat berbahaya jika itu dilakukan oleh kader organ partai yang seharusnya menjadi contoh dan panutan masyarakat.
"Sekali lagi, evaluasi sistem rekrut dan kaderisasi partai harus tegas menerapkan komitmen dan sanksi kepada kadernya yang menjadi bagian penyelenggara negara," tuntasnya. (Alf)