JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Bank Dunia (World Bank) memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap positif di tengah ketidakpastian global. Hal itu tertuang dalam laporan terbaru "Ekonomi Asia Timur dan Pasifik Oktober 2018" dari Bank Dunia, Kamis (4/10/2018).
Lembaga keuangan internasional itu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,2% pada tahun ini dan 2019, dan secara bertahap menguat menjadi 5,3% pada 2020. Namun Bank Dunia memperingatkan bahwa risiko-risiko negatif juga meningkat.
Konsumsi swasta diperkirakan meningkat sehubungan dengan pemilihan presiden tahun depan, berlanjutnya inflasi rendah, kondisi pasar tenaga kerja yang kuat, dan pemulihan pertumbuhan kredit.
"Demikian pula karena ekspansi ruang fiskal terkait dengan reformasi pendapatan yang sedang berlangsung, konsumsi pemerintah juga diproyeksikan menguat," kata laporan itu.
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan investasi akan tetap kuat, khususnya setelah pemilihan presiden karena berkurangnya ketidakpastian politik.
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan lebih kuat dan inflasi yang rendah, tingkat kemiskinan ekstrim di Indonesia pada 2018 berdasarkan garis kemiskinan internasional diperkirakan turun menjadi 4,9%, atau 0,8% lebih rendah dari 2017.
Mengingat peningkatan ekspektasi dalam pertumbuhan, tingkat kemiskinan ekstrim diproyeksikan menurun sebesar 0,7% pada 2019 dan 0,6% pada 2020.
Sementara itu, tingkat kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan kelas pendapatan menengah ke bawah diperkirakan menurun dari 27,3% pada 2017 menjadi 25,4% pada 2018 dan 21,9% pada 2020.
Pengurangan tersebut diproyeksikan lebih lambat daripada penurunan tahunan dalam kemiskinan selama 2006-2010, ketika tingkat kemiskinan ekstrim turun rata-rata 2,9% per tahun, sebagian karena tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi sebesar 6,1% per tahun selama periode sebelumnya.
Bank Dunia memperingatkan risiko-risiko terhadap prospek pertumbuhan Indonesia, terutama dampak negatif dari meningkatnya ketidakpastian global.
Normalisasi berkelanjutan kebijakan moneter AS, bersama dengan gejolak yang terkait dengan Argentina dan Turki, mendorong para investor keluar dari pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sebagai akibatnya, laporan Bank Dunia menyebutkan mata uang rupiah telah terdepresiasi dan imbal hasil obligasi meningkat.
Menurut laporan Bank Dunia, imbal hasil obligasi yang lebih tinggi akan menyebabkan kenaikan biaya bagi korporasi, yang bisa mengurangi pemulihan kredit baru dan investasi swasta.
Meningkatnya proteksionisme juga menimbulkan risiko yang kuat bagi Indonesia melalui pertumbuhan yang lebih lambat dari sektor ekspor.(yn/ant)