JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Sistem presidensial di Indonesia ternyata memiliki campuran dari paham sosialisma China. Ini berarti Indonesia tidak menerapkan sistem presidensial secara murni.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menjelaskan, hanya ada dua sistem politik atau demokrasi yang di dunia, yakni parlementer dan presidensial.
Para pendiri bangsa memilih sistem Presidensial, karena ini yang paling cocok. Sementara sistem parlementer, kata Refly, adalah anak kandung liberalisme.
"Itulah mengapa para pendiri bangsa menolaknya. Kita tahu liberalisme itulah yang menimbulkan keserakahan. Sistem ekonominya kapitalisme, tapi efeknya kolonialisme ada di mana-mana," ujarny di Jakara, Kamis (25/10/2018).
Parlementer banyak dianut negara-negara Eropa Barat dan presidensial dianut Amerika Serikat dan negara-negara Amerika Latin.
Namun, presidensial yang dianut Indonesia juga tidak murni. Ada campurannya yang berasal dari paham sosialisme China. Itulah yang memunculkan adanya MPR di Indonesia. Lembaga MPR, sambung Refly, waktu itu hanya ada di China.
Sistem Presidensial yang dipilih ketika pertama kali membangun negara Indonesia masih campuran atau disebut juga sistem quasi.
"Namun, sekarang presidensial kita mendekati yang dianut Amerika dan Amerika Latin. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan MPR lagi," jelasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Mahyudin menyatakan, setiap negara memiliki ciri demokrasi masing-masing.
"Setiap negara punya ciri demokrasinya masing-masing. Indonesia sendiri memakai demokrasi yang disebut Pancasila. Sila keempat mengharuskan adanya sistem perwakilan. Apakah Indonesia tidak lagi menganut sistem perwakilan, tidak juga," kata Mahyudin.
Indonesia, kata Ketua DPP Partai Golkar ini, tetap menggunakan sistem perwakilan. Maka ada lembaga yang namanya DPR RI.
Dahulu, MPR RI bisa memilih presiden. Namun, sekarang pemilihan presiden secara langsung dipilih oleh rakyat.
"Tapi sistem pemilihan langsung kadang tak berjalan optimal di sebuah negara yang kondisinya seperti Indonesia. Politik uang akan sangat banyak mengganggu kualitas pemilihan," tuturnya.(plt)