JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pemerintah Republik Indonesia resmi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Abdurrahman Rasyid Baswedan atau AR Baswedan, Kamis, 8 November 2018. AR Baswedan adalah kakek dari Gubernur DKI Jakarta AniesBaswedan.
Penganugerahan ini diberikan langsung oleh Presiden Jokowi, di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (8/11/2018).
Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan akan dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi di Istana Merdeka, hari ini, Kamis (8/10/2018).
AR Baswedan diketahui sebagai kakek dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Dikutip dariWikipedia, AR Baswedan lahir di Surabaya, Jawa Timur 9 September 1908. Dia meninggal di Jakarta, 16 Maret 1986 pada umur 77 tahun.
AR Baswedan adalah nama populer dari Abdurrahman Baswedan, seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, muballigh, dan juga sastrawan Indonesia.
Sang cucu yang kini menjadi orang nomor satu di Ibu Kota Negata, Gubernur DKI Anies menceritakan sedikit perjalanan sang kakek saat ikut memperjuangkan kemerdekaan RI.
"Beliau salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bersidang di gedung Pancasila, dan jadwal pidato dia berbarengan dengan Soekarno," ujar Anies Baswedan di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (8/11/2018).
Anies Baswedan mengatakan, kakeknya semasa hidup pernah menjadi wartawan dan Menteri Muda Penerangan pada 1947. Selain itu, AR Baswedan memiliki peran yang cukup penting terhadap kemerdekaan Indonesia.
Diungkapkan Anies, kakeknya juga pernah mengemban misi diplomatik ke Mesir untuk mendapatkan pengakuan de jure dan de facto atas kemerdekaan Indonesia. Atas peran kakeknya itu, Mesir menjadi negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Menurut Anies, usulan pemberian gelar terhadap AR Baswedan sudah diajukan sejak 2010 oleh Yayasan Nasinal Building yang dipimpin oleh Edi Lembong.
AR Baswedan adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia dari Mesir.
Dia mempelajari banyak hal secara mandiri, terutama kemampuan menulisnya.
Bersama AR Baswedan, ada delapan nama lainnya yang akan mendapat gelar pahlawan nasional.
Tapi pada 2012, PresidenSusiloBambangYudhoyono(SBY) memutuskan hanya dua yang akan diberi gelar pahlawan nasional, yaituSoekarnodanMohammadHatta.
"Pemerintah baru sadar mereka belum dapat gelarpahlwannasional," ujarAnies.
"Baru 2015 diproses kembali Kementerian Sosial dan akhirnya tahun ini diputuskan presiden," kata Anies.
Bersama Abdurrahman, nama Kasman Singodimejo juga akan diberikan gelar pahlawan nasional oleh Jokowi hari ini.
Aniesmengatakan antara Abdurrahman Rasyid Baswedan dan Kasman pernah tinggal di rumah yang sama di Yogyakarta, tapi dalam waktu yang berbeda.
Tapi, dia mendapatkan dunia jurnalisme terbuka lebar setelah bertemu wartawan pertama dari keturunan Arab di Hindia Belanda, Salim Maskati, yang di kemudian hari membantu AR Baswedan dengan menjadi Sekretaris Jenderal PAI.
Karena itu, profesi utama dan pertama AR Baswedan adalah jurnalis.
Dia memang sempat menjalani kegiatan perniagaan dengan meneruskan usaha toko orang tuanya di Surabaya. Tapi, dia tak kerasan. Dia tertarik pada dunia jurnalisme.
Soebagio I.N., dalam buku Jagat Wartawan memilih AR Baswedan sebagai salah seorang dari 111 perintis pers nasional yang tangguh dan berdedikasi.
Saat bekerja di Sin Tit Po, ia mendapat 75 gulden--waktu itu beras sekuintal hanya 5 gulden.
Ia kemudian keluar dan memilih bergabung dengan Soeara Oemoem, milik dr Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Setelah itu dia bekerja di Matahari.
Tapi, setelah mendapatkan amanah untuk menjalankan roda organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI), ia meninggalkan Matahari, padahal ia mendapat gaji 120 gulden di sana, setara dengan 24 kuintal beras waktu itu. "Demi perjuangan," katanya.
Sebagai wartawan pejuang, AR Baswedan produktif menulis.
Saat era revolusi, tulisan-tulisan AR kerap tampil di media-media propaganda kebangsaan Indonesia dengan nada positif dan optimis, sebagaimana terekam dalam buku The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1945 karya Harry J. Benda. (Alf)