TURUT BERDUKA CITA. Begitu tulis sahabat saya, Hersubeno Arief atau Hersu, sapaan akrabnya di kalangan pers nasional. Sekali lagi, sahabat saya yang juga wartawan senior itu mengkritisi prilaku teman-temannya yang juga tentu teman-teman saya, satu dunia, pers nasional.
Suka atau tidak, satu pandangan politik atau tidak, harusnya basis kami sama. Pers sejak lahir dulu bertugas menjadi pengawas bukan pemuja. Pers sejak awal lahir bukan jadi pengawal. Pers bertugas sebagai pengawas.
Semua tentu didasari kebenaran, keadilan, dan senantiasa harus membela kepentingan rakyat. Pers dilarang melukai nurani rakyat. Itu sebagian kecil tugas pers di mana pun berada, termasuk di negeri komunis (meski tidak sebebas di negeri yang non-komunis).
Apa kaitannya dengan ucapan duka cita Hersu? Ya, inilah yang menarik. Sahabat saya yang sejak dulu sangat kritis itu, terkesiap ketika Jokowi diberi 'hadiah' oleh Dewan Pers yakni medali kemerdekaan pers. Lho, kok?
Ya, Hersu pantas tersinggung, dan saya juga ikut tersinggung. Hersu bertanya, saya juga ikut bertanya. "Kok bisa ya Dewan Pers memberikan itu?"
Jika mereka yang ada di sana mau memilih petahana, itu haknya. Tapi, jangan dong melukai kebebasan pers itu sendiri. Kita sama-sama punya hak pilih dengan pilihan yang terbaik menurut kita masing-masing. Namun jangan lupa dengan tugas pokok pers yang selalu harus membela kebenaran. Pertanyaannya, sudah benarkah pers saat ini bebas? Kita bisa melihat dan merasakan dengan cara sendiri-sendiri. Beda pilihan, pasti beda penglihatan. Tapi yang tak bisa dibohongi adalah hati kita. Atas nama kepentingan sesaat, kita bisa berseberangan bahkan dengan hati kita sendiri. Tapi, menjelang ajal semua akan bermunculan dan jangan sampai kelak jadi beban penyesalan, nauzubillah.
Dewan pers memang punya hak memberikan apapun kepada siapapun, tapi basisnya harus benar. Pertanyaannya, apakah pemberian kedali ke petahana itu tepat? Sekali lagi, apakah pers saat ini benar-benar sudah bebas? Sekedar mengingatkan dan bertanya pada dewan pers: Mengapa reuni akbar 212 tahun lalu tak diliput oleh mayoritas pers nasional? Mengapa dewan pers tak bertanya atau melakuksn investigasi? Jangan lupa, itu adalah peristiwa sangat besar bahkan menjadi yang terbesar dalam sejarah dunia.
Benar, setiap pers (media) punya kebijakan masing-masing. Tapi, ketika ada peristiwa besar di Jakarta, kok tidak disampaikan ke publik? Tak heran jika Rocky Gerung dan Efendi Gazali menyebut sebagai penggelapan sejarah, lha, kok dewan pers diam saja?
Sekali lagi, hak dewan pers memberi penghargaan, tapi hak Hersu dan saya juga mempertanyakan. Apalagi ini adalah bulan politik, terus terang saya menilai apa yang diberikan dewan pers, langsung atau tidak, sengaja atau tidak, berkaitan dengan aroma politik.
Jika itu benar, maka tak elok mereka masih bercokol di dewan pers. Dewan pers adalah lembaga terhormat yang wajib dijaga netralitasnya. Malu rasanya..... (*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #dewan-pers #jokowi