CALON Presiden Joko Widodo mengangkat perihal Unicorn dalam debat Capres kedua, Ahad malam kemarin. Unicorn merupakan gelar yang diberikan pada suatu usaha rintisan atau startup yang memiliki nilai valuasi lebih dari US$1miliar. Jokowi jelas punya maksud tertentu saat mengapungkan unicorn dalam debat itu. Salah satunya, boleh jadi, ia ingin membanggakan bahwa di masa pemerintahannya, ada 4 unicorn yang lahir di negeri ini. Jumlah itu memang terbilang banyak, dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.
“Infrastruktur apa yang akan Bapak bangun untuk mendukung pengembangan unicorn-unicorn Indonesia?” tanya Jokowi kepada Prabowo Subianto. Pada sesi ini Jokowi memamerkan tentang keberhasilannya membangun Palapa Ring. Di sisi lain, Prabowo justru menanggapi itu dengan sikap khawatir. “Jangan sampai karena unicorn ini uang-uang kita lari ke luar negeri,” keluhnya.
Mari kita cermati debat soal unicorn. Jokowi tidak menyebut start-up atawa usaha rintisan tentang bisnis online. Ia langsung ke ubun-ubun: unicorn! Padahal kita tahu, unicorn yang ada di Indonesia ya baru empat itu: GO-JEK, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak.
Jokowi langsung ke langit, karena boleh jadi ia ingin membanggakan prestasi empat usaha rintisan yang sudah mencapai derajat unicorn, mengalahkan negara-negara di Asia Tenggara lainnya.
Lalu apa korelasinya dengan kekhawatiran Prabowo soal unicorn itu? Jokowi mungkin lupa bahwa kuartet unicorn yang dibanggakan itu tak lagi milik putera Indonesia. Benar, anak negeri ini yang membidani, tapi unicorn itu kini sahamnya telah dikuasai asing.
Tengok saja GO-JEK yang menerima kucuran dana dari Google sebesar US$1,2miliar. Alhasil, valuasi startup besutan Nadiem Anwar Makarim ini ditaksir mencapai US$4miliar atau lebih dari Rp53 triliun.
Lalu, PT Tokopedia mendapat suntikan sebesar US$1,1miliar atau sekitar Rp14,7 triliun dari Alibaba Group pada Agustus 2017 silam. Sebelumnya, Tokopedia juga menerima pendanaan dari Softbank Japan dan Sequoia Capital senilai US$100juta atau Rp1,3 triliun.
Sementara, Traveloka mendapatkan pendanaan dari Expedia, perusahaan jasa perjalanan asal Amerika Serikat (AS), pada Juni 2017 senilai US$350juta atau sekitar Rp4,6 triliun. Dengan total pendanaan tersebut, Traveloka kini telah mencapai nilai valuasi lebih dari US$2miliar atau setara Rp26,6 triliun.
Kini, terdapat sekitar 90 perusahaan rintisan yang tumbuh pesat dan membutuhkan pendanaan seed funding, baik seri A maupun seri B. Hanya saja, kemampuan dukungan pendanaan modal ventura lokal masih terbatas pada pendanaan seri A yang mencapai US$5juta. Inilah mengapa modal ventura lokal butuh mitra regional fund yang paling tidak punya kapasitas fundraising lebih tinggi supaya startup lokal bisa terdanai dan tumbuh sampai besar.
Kini, terhadap unicorn itu, saham putera Indonesia paling tinggal 1%, ada yang 2%. Kenapa? Karena model bisnis mereka memang membuat hal seperti itu. Investornya masuk mengambil alih langsung 97%, sang founder disisakan 3%. Jumlah inipun lama-lama kempis karena diambil asing juga.
Dan, soal kepemilikan saham mayoritas asing ini bukan masalah sepele. Ketika modal asing masuk ke unicorn di sini, maka kedaulatan data, dan produk yang ada di startup sangat berisiko menjadi tergadaikan.
Padahal data merupakan privasi sekaligus sumber daya paling penting di era ekonomi digital. Para investor asing mau ‘membakar uangnya’ untuk mendapatkan database sebagai investasi jangka panjang. Investor Gojek, misalnya, rela mengucurkan dana ratusan miliar setiap bulan untuk menghidupkan Gojek. Untuk apa? Untuk mendapatkan database. Dari database itu mereka nanti (investor) mencoba meng-create ekosistem. Dari situ mereka mau menguasai ekonomi, kalau ini berhasil.
Tengok juga masifnya produk asal Cina yang masuk ke sini seiring akuisisi saham unicorn lokal oleh investor asal Cina, semisal Alibaba dan Tencent. Data idEA mengungkapkan 93% produk yang dijual melalui e-commerce adalah produk impor. Artinya keuntungan e-commerce yang harusnya bisa mendorong UMKM berkembang justru keluar ke negara asal penyuntik dana itu.
Parahnya, pemerintah lelet dalam menyusun peta jalan bisnis digital. Pemerintah sejauh ini kurang antisipasi terhadap perubahan lingkungan bisnis yang bergerak ke arah digital. Padahal, semua negara yang mengimplementasikan ekonomi digital sudah menyiapkan regulasi, terstruktur dan sistematis. Di Indonesia, pemain di bidang ini sudah bergerak sangat jauh, namun regulasi masih sekadar wacana. Lucunya, itulah yang dibanggakan Jokowi. (*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #jokowi #pilpres-2019