Pangeran Diponegoro melawan VOC dengan tombak dan strategi gerilya di abad ke-19, menolak penjajahan yang menginjak martabat bangsanya. Kini, perjuangan serupa kembali muncul, bukan di medan perang Jawa, tetapi di lorong hukum, media, dan ruang publik Indonesia modern. Muhammad Said Didu, dengan lantang, berdiri di barisan depan membela hak rakyat Teluknaga, Tangerang, yang tertindas oleh kepentingan pembangunan megaproyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2).
Tanah Teluknaga: Medan Perang Baru
Seperti Diponegoro yang melihat tanah leluhurnya diinjak VOC, warga Teluknaga menyaksikan tanah mereka diambil paksa untuk proyek PIK 2. Pembangunan yang mengatasnamakan “Proyek Strategis Nasional” (PSN) ini dituding melibatkan intimidasi terhadap masyarakat lokal, harga ganti rugi yang tidak sepadan, hingga ancaman kriminalisasi bagi mereka yang berani melawan.
Said Didu menyebutnya sebagai bentuk baru kolonialisme. “Dulu penjajah berkulit putih, sekarang mereka berbaju korporasi dan didukung kekuasaan,” ujarnya dalam salah satu pernyataannya. Bagi warga, ini adalah pertarungan antara yang kuat dan yang lemah, seperti kisah Diponegoro melawan pasukan kolonial.
Pilar Perlawanan: Narasi, Moral, dan Media
Jika Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya, Said Didu bertempur dengan narasi. Ia mengkritik keras proyek ini melalui media sosial, wawancara, dan forum publik. Suaranya menembus tembok kekuasaan, mengingatkan pemerintah bahwa pembangunan bukanlah alasan untuk mengorbankan rakyat kecil.
Namun, perlawanan ini tak mudah. Seperti halnya Diponegoro menghadapi pengkhianatan internal dan kekuatan besar VOC, Said Didu menghadapi tekanan dari pihak-pihak yang ingin membungkamnya. Aparat dikerahkan, bahkan protes warga direspon dengan pengerahan pasukan Brimob lengkap dengan senjata pengurai massa.
Rakyat sebagai Laskar Diponegoro
Di Teluknaga, warga bukan hanya korban; mereka adalah pejuang. Ketika truk-truk tambang melintasi jalan-jalan desa, mengancam keselamatan dan lingkungan, warga merespons dengan aksi protes. Beberapa truk dihentikan, bahkan dibakar. Protes ini adalah bentuk modern dari “perang gerilya,” di mana rakyat menggunakan keberanian dan solidaritas sebagai senjata.
Said Didu, seperti Diponegoro, menyadari bahwa perjuangan ini adalah lebih dari sekadar tanah—ini soal martabat dan hak asasi. Ia menggambarkan protes ini sebagai ledakan perlawanan terhadap ketidakadilan struktural yang telah lama terpendam.
Menghidupkan Semangat Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial; Said Didu mewujudkan semangat itu dalam konteks modern. Ia mengajarkan bahwa suara rakyat tidak boleh dibungkam, bahwa keadilan harus diperjuangkan di mana pun ada ketimpangan.
“Ini bukan soal proyek atau uang,” kata Said Didu dalam salah satu orasinya, “Ini soal siapa yang lebih dulu menyerah: rakyat yang tertindas, atau mereka yang menindas rakyat.”
Seperti Diponegoro, Said Didu mungkin tidak menang di setiap medan. Tapi perjuangan mereka meninggalkan jejak panjang, mengingatkan kita bahwa keadilan adalah hak setiap manusia—dan bahwa siapa pun yang berani memperjuangkannya, pantas disebut sebagai pahlawan.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #