Berita
Oleh Alfian Risfil pada hari Minggu, 31 Mar 2019 - 17:31:45 WIB
Bagikan Berita ini :

Pilpres 2019: Pancasila Dirongrong Ekka dan Ekki

tscom_news_photo_1554028305.jpg
Ilustrasi ancaman kelompok Ekka dan kelompok Ekki terhadap ideologi Pancasila di Pemilu 2019. (Sumber foto : TeropongSenayan.dok)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Atmosfer politik nasional jelang pemungutan suara Pemilu Serentak 2019 kian memanas.

Ajang demokrasi lima tahunan kali ini dinilai akan menjadi pertarungan dua poros kekuatan besar yang datang dari ideologi asing.

Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruki mengungkapkan, sejak keran demokrasi liberal dibuka pada era reformasi, memang banyak bermunculan paham-paham baru yang mengancam ideologi Pancasila dan UUD 1945, awalnya dimulai dengan langkah mereka menginisiasi dilakukannya Amandemen terhadap UUD45 sampai empat kali.

Ruki menyebut, paham tersebut saat ini tengah menginfiltrasi kehidupan masyarakat melalui berbagai media dan satu diantaranya adalah melalui Partai Politik dan Ormas, jika terus dibiarkan bukan mustahil akan berujung pada perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ruki membagi paham tersebut menjadi dua kategorisasi atau aliran pemikiran ideologi politik. Pertama, idiologi komunisme yang saat ini berkolaborasi dengan liberalisme dan kapitalisme sehingga menghasilkan neoliberalis dan komunis kapitalis.

"Inilah yang dahulu kita sebut "ekstrim kiri", dan upaya penguasaan mereka jelas dari mulai berkembangnya oligarkhi ekonomi, oligarkhi politik kolaborasi diantara mereka dan langkah mereka meng-amandemen UUD 45 yang menyebabkan Pancasila sebagai spirit keindonesiaan kita tergerus," kata Ruki kepada TeropongSenayan, Jakarta, Minggu (31/3/2019).

"Jadi, ancaman terhadap NKRI dan Pancasila serta UUD 45 datang dari dua arah. Ini masih seperti yang diajarkan kepada kami waktu di Akabri dan Sesko serta berbagai diklat, yaitu idiologi Komunisme. Kami semua tahu dimana mereka bersarang dan siapa-siapa mereka itu," jelas lulusan Akademi Kepolisian 197O, penyandang Bintang Mahaputra Adhipradana ini.

Selanjutnya, kata Ruki, yang kedua adalah ideologi yang berkeinginan membentuk Negara Islam Indonesia dan sekarang lebih sering disebut sebagai idiologi khilafah dan ini lah yang dalam pelajaran kami dulu disebut sebagai "ekstrim kanan".

Menurutnya, poros ini sumbernya adalah kelompok Ichwanul Muslimin dan Hizbuth Tahrir di Timur Tengah (Timteng) serta kelompok ultra kanan yang dikenal sebagai ISIS, yang berhasil memporak-porandakan Mesir dan beberapa negara di Timteng yang kemudian dikenal sebagai Arab Spring.

“Kita semua tahu dimana mereka dan apa methamorphose mereka di Indonesia saat ini” beber mantan Ketua KPK periode 2003-2007 itu.

"Karena itu, menurut saya pemilu kali ini baik Pileg maupun Pilpres sesungguhnya adalah pertarungan diantara mereka, lantas dimana dan kemana itu kaum Nasionalis yang setia kepada NKRI, Pancasila, dan UUD45?, mungkin sementara ini banyak yang tiarap, atau ikut pemilu walaupun cuma menjadi penggembira dan yang menyedihkan adalah banyak diantara mereka yang hanyut dalam pragmatisme politik, yaitu ‘ikut menang saja ," ucap Ruki.

Senada dengan Ruki, Mayjen (Purn) TNI, Prijanto juga mengaku mencium gelagat yang sama. Menurutnya, keberadaan dua poros kekuatan gerakan ekstrim kanan (Ekka) dan ekstrim kiri (Ekki) tak bisa dipandang sebelah mata.

"Saya sependapat, saat ini ada Ekka dan Ekki dengan segala macam penjelmaannya, dan mereka berkeliaran cari gantungan," kata Prijanto.

"Ketika kami di AKABRI (TNI & POLRI) dan selama dinas selalu diingatkan adanya bahaya latent komunisme," kenang lulusan AKABRI tahun 1975 itu.

Jenderal Dr. A.H. Nasution, jelas Prijanto, juga pernah mengingatkan bagaimana cara komunis menyebar issue tentang Negara Islam dalam upaya mempertentangkan Pancasila dengan ajaran Islam. Padahal, nilai-nilai Pancasila itu juga ada di ajaran Islam.

"Karena itu, kewaspadaan terhadap bahaya laten ideologi komunis memang harus tetap dibumikan, sebab gerakan komunis internasional dengan segala bentuknya tidak akan berhenti," tutur pria yang pernah terlibat aktif dalam Operasi Seroja di Timor Timur pada tahun 1978.

"Lalu, menjawab pertanyaan kemana kaum nasionalis? Saya berpendapat ya ada di dalam "kerumunan" Pilpres. Tak bisa dipisah dengan garis yang secara tegas atau jelas memisahkan antara Nasionalis, Ekka, Ekki. Masing-masing kontestan bisa saja ada unsur Ekka dan Ekkinya," kata Prijanto menganalisis.

Artinya, lanjut Prijanto, dirinya belum berani menarik kesimpulan bahwa Pilpres 2019 saat ini hakikatnya hanya "perang" antara Ekka Ekki. Karena Ekka Ekki lah yang sedang mendompleng "kaum nasionalis" untuk hancurkan Pancasila dan keduanya secara ideologis juga musuh bebuyutan.

"Nah, masing-masing bisa mengamati perilaku manusia-manusia di kerumunan Pilpres. Apakah ada syetan-syetan dari kelompok Ekka dan Ekki?," papar Prijanto.

"Kontestan mana yang kaum nasionalis lebih jelas, banyak, dan militan dalam mencintai rakyat, bangsa dan negaranya," ungkap Prijanto.

Kini, menurut Prijanto, tergantung penilaian masing-masing. Penilaian akan tepat jika mampu melepas kepentingan pribadi atas 3 Ta (tahta, harta, dan wanita) yang memang menggiurkan.

"Di samping kepentingan pribadi, juga harus mampu melepas segala macam dendam. Mulai dendam saat kedinasan atau bekerja sampai dengan dendam politik," pesan mantan Wakil Gubenur DKI periode 2007-2012 itu. (Alf)

tag: #pemilu-2019  #pancasila  #pilpres-2019  #pki  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement