JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Masih terkait kasus rasisme yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya, Provisi Papua yang dikenal dengan "Bumi Cendrawasi" itu kembali rusuh, sejak Rabu (28/8/2019) kemarin. Kali ini, kerusuhan terjadi di Deiyai, Papua yang mengakibatkan sejumlah korban tewas, baik dari aparat maupun warga sipil.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah pun kembali angkat bicara menyikapi aksi kerusuhan tersebut. Dia mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk berbicara dan menyampaikan sebuah rencana menghentikan rusuh akibat kasus rasisme itu.
Karenanya, Fahri mengaku sangat mengkhawatirkan kemampuan pemerintah memahami kompleksitas masalah, dan mencemaskan kemampuan mereka menggunakan mandat lama dan mandat baru dalam mengelola dinamika yang ada.
"Saya khawatir mereka anggap remeh masalah sampai kita menyesal dan tak bisa lagi menyesal. Media tidak memberitakan bukan berarti tidak ada peristiwa, dan media memberitakan bukan berarti peristiwa ada. Hari ini kita melihat apa yang sebenarnya ada dan apa yang sebenarnya fiksi belaka. Papua bergolak Pak," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (30/8/2019).
Kesempatan itu, Pimpinan DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) itu mengingatkan bahwa Papua adalah anak kandung Republik Indonesia, bukan anak angkat, apalagi anak tiri. Maka, terimalah sepenuhnya.
"Yang melukai Papua adalah yang melukai kita. Nyatakan sakit penyesalan dan maaf, kalau ingin tetap dianggap orang tua dan saudara," imbuhnya.
Kerusuhan kembali di Papua sebagaimana disampaikan Kapendam XVII/Cenderawasih, Letkol Cpl Eko Daryanto berawal dari aksi unjuk rasa yang dilakukan masyarakat Kabupaten Deiyai, Papua, dengan tuntutan referendum. Jumlah massa aksi demo di Deiyai Papua ini, kurang lebih seratus orang dan berlangsung di depan di Kantor Bupati Deiyai pukul 13.00 WIT.
Kemudian sekira pukul 14.00 WIT, kurang lebih seribu orang dari beberapa wilayah berkumpul di lapangan Wagete Kabupaten Deiyai. Massa yang membawa senjata tradisional panah, parang, dan batu tersebut kemudian bergerak menuju Kantor Bupati Deiyai. Massa kemudian melakukan aksi anarkis dengan melakukan pelemparan kearah aparat keamanan dan Kantor Bupati.
Aksi yang menuntut Bupati Deiyai untuk menandatangani referendum ini, awalnya aparat kepolisian dan TNI sempat berhasil bernegosiasi. Namun, saat negosiasi masih berlangsung, sekitar seribu orang tiba-tiba datang ke lokasi dari segala penjuru.
Mereka membawa senjata tajam dan bahkan diduga juga membawa senjata api dan menyerang aparat. Pada saat itulah kontak tembak antara massa dengan aparat terjadi yang mengakibatkan satu anggota TNI AD gugur dan lima anggota Polri terluka (akibat) panah.
Satu di antara personel TNI yang meninggal bernama Serda Rikson dan lima anggota lainnya mengalami luka akibat terkena anak panah dilarikan ke Rumah Sakit Enarotali untuk mendapat perawatan. (ahm)