JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menginstruksikan kepada tokoh publik untuk membuka identitas mereka apabila dinyatakan positif mengidap Covid-19 atau virus corona. Manfaatnya, untuk memudahkan petugas medis pemerintah melacak riwayat virus itu menular.
Namun ada sejumlah perintah --khususnya dalam peraturan perundang-undangan-- agar, baik dokter maupun pihak lain tidak asal membuka identitas pasien yang berpenyakit. Hal itu dilakukan untuk menjaga harga diri pasien tidak dicap buruk oleh masyarakat.
Lantas bagaimana semestinya pemerintah bertindak? Apalagi di tengah usaha mencegah dan menanggulangi sebaran virus corona ini.
Menanggapi hal tersebut Anggota Komisi IX yang membidangi urusan kesehatan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Saleh Partaonan Daulay, menganggap membuka identitas pasien hukumnya diperbolehkan Undang-Undang disamping ada perintah UU pula yang melarangnya. Akan tetapi, kata Saleh, kebolehan membuka identitas itu jika berada dalam konteks kepentingan masyarakat luas.
Artinya, publik dizinkan untuk mengetahui soal identitas pasien, bila keadaan itu memungkinkan untuk dibuka karena ada faktor sosial, yang mana bila identitas tersebut tidak diketahui atau dibuka oleh pihak berwenang, akan menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat luas, contoh untuk hal ini adalah tentang identitas pasien corona yang pernah melakukan kontak langsung dengan beberapa orang lain.
"Meskipun ada aturan tentang menjaga kerahasiaan data pasien, namun dalam kondisi-kondisi tertentu sepertinya ada kelonggaran. Ketentuan kelonggaran seperti itu yang mesti dipelajari. Ahli hukum kesehatan mesti memberikan pendapatnya. Sehingga dalam bertindak kita semua tetap dalam koridor hukum yang benar," kata Saleh melalui keterangan tertulis yang diterima TeropongSenayan, Minggu (22/3/2020).
Saleh mencontohkan, ketentuan pasal 57 ayat (1) UU Kesehatan yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Akan tetapi, pada pasal 57 ayat (2) hak atas kerahasiaan itu dikecualikan salah satunya, demi kepentingan masyarakat.
Kepentingan pemerintah untuk membuka identitas pasien corona, misalnya, mengetahui di mana pasien itu tinggal, karena rumah dan lingkungan tempat pasien tinggal menjadi bagian yang paling sering diakses oleh pasien. Oleh karenanya, Saleh melanjutkan, “Kalau hanya menyebutkan daerah-daerah tempat pasien tinggal, saya kira tidak masalah. Yang tidak boleh itu jika data lengkap pasien dibuka secara luas ke publik. "
Data pasien, kata Saleh, dibutuhkan bukan untuk melabelisasi dan menyudutkan pasien. Namun hal itu dibutuhkan agar masyarakat mengetahui gerak dan persebaran virus corona. Dengan begitu, semua pihak bisa mengantisipasi dan menghindari.
"Kalau semua pihak dapat menghindari, tentu itu juga adalah bagian dari memenuhi kepentingan kesehatan pasien dan keluarganya”, jelas dia.
Politisi Partai Amanat Nasional asal Padang Lawas, Sumatera Utara ini menguraikan, peraturan yang membolehkan dibukanya identitas pasien untuk kepentingan publik antara lain, ketentuan Pasal 48 UU Praktik Kedokteran yang berbunyi:
“Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.”
Berikutnya, dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 269 Tahun 2008 pasal 10 ayat (2) menyebutkan:
"Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal: untuk kepentingan kesehatan pasien; memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan; permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri; permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien."
Sebelumnya, Ketua KPI Agung Suprio mendorongpublic figureatau pejabat publik membuka identitas kepada masyarakat jika terinfeksi positif Corona. Hal itu dilakukan agar interaksi atau rute perjalanannya mudah ditelusuri dan menghindari penyebaran lebih luas.
"Jika memang hal tersebut sulit dilakukan, makapublic figureyang sering tampil di televisi seyogianya melakukan declare jika terinfeksi Corona," kata Agung dalam keterangannya, Minggu (22/3).