JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Serikat buruh telah menyatakan penolakannya terhadap kluster ketenagakerjaan pada RUU Omnibus law Cipta Kerja. Selain buruh, Serikat Petani Indonesia atau SPI dalam hal ini juga menyuarakan hal yang sama.
Namun, Tak hanya kluster ketenagakerjaan, SPI juga mendesak DPR menghentikan pembahasan 10 kluster lain dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Sejumlah pasal dinilai mengancam petani dan rakyat yang bekerja di perdesaan.
Ketua Umum SPI Henry Saragih, dalam keterangan tertulisnya, kemarin (26/4/2020), menyatakan apresiasinya atas langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menunda pembahasan RUU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan. Namun, tidak berhenti di situ, SPI juga meminta pemerintah mengambil kebijakan yang lebih tegas, yakni menghentikan semua kluster RUU Cipta Kerja.
Sebelumnya, penundaan pembahasan kluster ketenagakerjaan telah disampaikan Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (24/4) lalu. Kebijakan itu diambil guna memberikan kesempatan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk kembali mendalami substansi pasal-pasal ketenagakerjaan.
Henry menuturkan, pembahasan RUU Cipta Kerja sudah tidak relevan setelah kluster ketenagakerjaan, yang menjadi esensi RUU Cipta Kerja, ditunda pembahasannya. ”Setelah kluster ketenagakerjaan ditunda, pembahasan kluster yang tersisa justru tidak ada sangkut pautnya dengan penciptaan lapangan kerja di Indonesia,” kata Henry.
TEROPONG JUGA:
>Pemerintah dan DPR Sepakat Tunda Pembahasan RUU Cipta Kerja
>Usai Jokowi Tunda Omnibus Law, KSPI Batal Demo di DPR dan Kemenko Perekonomian
SPI menyatakan sikap menolak RUU Cipta Kerja yang mencakup 11 kluster dan 1.244 pasal karena bertentangan dengan pelaksanaan reforma agraria, kedaulatan pangan, serta mengancam pembangunan pertanian, perdesaan, dan penegakan hak asasi petani di Indonesia. Kluster kemudahan investasi bahkan membahas mengenai impor pangan yang berisiko makin mempersulit kehidupan petani.
Kontraproduktif Reforma agraria
Menurut Henry, esensi dari RUU Cipta Kerja di bidang pertanahan merupakan replikasi dari RUU Pertanahan yang ditunda pengesahannya pada September 2019. Oleh sebab itu, SPI berpendapat, isi RUU Cipta Kerja di bidang pertanahan memiliki masalah yang sama dengan RUU Pertanahan, yakni terdapat butir-butir pasal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sebagaimana yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960).
Konsep bank tanah di dalam RUU Cipta Kerja bertentangan dengan amanat UUPA 1960. Implikasinya antara lain adalah bank tanah semata sebagai komoditas. Hal ini bertentangan dengan amanat UUPA 1960 di mana tanah seharusnya dimaknai dalam fungsi sosialnya.
SPI juga menyoroti hak pengelolaan (HPL) dalam Pasal 127 Ayat (2) RUU Cipta Kerja. Pasal ini dinilai berpotensi mengurangi peran negara dalam menguasai tanah. ”Ketentuan mengenai HPL dalam RUU Cipta Kerja bias kepentingan, yakni memfasilitasi investasi di sektor pertanahan, tetapi abai terhadap potensi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia,” ujarnya.
Menurut mengatakan keberpihakan RUU Cipta Kerja terhadap investasi dan kepentingan korporasi dapat dilihat dari pemberian hak atas tanah, baik hak pengelolaan, hak guna usaha, hak guna bangunan, maupun hak pakai dengan jangka waktu hingga 90 tahun.
”Padahal, apabila mengacu pada amar putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UndangUndang Penanaman Modal, pemberian jangka waktu 90 tahun dalam hak atas tanah merupakan inkonstitusional karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan UUPA 1960,” ucapnya.
Kontraproduktif Kedaulatan Pangan
Tidak hanya mengancam jalannya reforma agraria di Indonesia, menurut Henry, RUU Cipta Kerja juga memuat pasal-pasal yang mengancam tegaknya kedaulatan pangan di Indonesia. Dia mengungkapkan RUU Cipta Kerja akan berimplikasi pada rusaknya fondasi kedaulatan pangan di Indonesia.
"Ketentuan-ketentuan yang memproteksi produk petani dalam negeri, seperti dalam UU No.18/ 2012 tentang Pangan, UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, akan diubah agar lebih mengakomodir pasar, dalam konteks ini adalah impor pangan,” paparnya.
Selain mengubah ketentuan mengenai impor pangan di Indonesia, RUU Cipta Kerja juga menghapus pasal 63 di dalam UU Hortikultura, yang mengatur tentang penggunaan benih produksi dalam negeri. Henry menjelaskan dalam hal ini RUU Cipta Kerja justru akan semakin menyulitkan upaya pemerintah Indonesia tentang ‘1000 Desa Mandiri Benih’ yang telah ditargetkan sejak tahun 2014 lalu.
“Hal ini juga menunjukkan abainya RUU Cipta Kerja terhadap realitas petani Indonesia yang mampu memproduksi benih secara mandiri. Dengan dihapuskannya ketentuan mengenai pengutamaan benih produksi dalam negeri, hal ini dikhawatirkan akan menggerus eksistensi benih lokal di Indonesia, kedaulatan petani dalam memproduksi benih terancam,” jelasnya.
Kontraproduktif dengan Perkoperasian Indonesia
SPI berpandangan RUU Cipta Kerja menyubordinasi koperasi sebagai kelembagaan ekonomi. Hal ini tampak dari diubahnya ketentuan dalam UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal, dengan menambahkan ayat tentang posisi koperasi sebagai kemitraan dalam konteks rantai pasok dari kegiatan penanaman modal lainnya.
"Pasal 6 UU Perkoperasian yang lama diubah dalam RUU Cipta Kerja. Ketentuan mengenai pembentukan koperasi primer yang sebelumnya membutuhkan 20 orang dan sekurang-kurangnya 3 koperasi menjadi 3 orang dan 3 koperasi. Ketentuan ini padahal sudah dibatalkan ketika judicial review terhadap UU Perkoperasian yang telah disebutkan bahwa yang menjadi fondasi dari koperasi adalah kolektivitas, sehingga penguasaan modal di segelintir orang justru mengangkangi nilai-nilai koperasi," jelas Henry.
"Tidak hanya itu, pasal 22 dalam RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan kehadiran anggota dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT), dari yang semula harus dihadiri langsung, kini dapat dilakukan melalui sistem perwakilan," sambungnya.
Dia melanjutkan, dalam pasal 14 ayat 1 paragraf 7 perindustrian, tertulis bahwa pemerintah pusat mengatur tentang pembinaan dan pengembangan usaha oleh pemerintah kepada pelaku usaha pasar rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan untuk menciptakan kepastian berusaha dan hubungan kerja sama yang seimbang antara pemasok dan pengecer.
“Namun, pemerintah tidak membuat peraturan tersebut secara khusus kepada koperasi. Pemerintah pusat harus menempatkan lembaga koperasi dalam peraturan tersebut sebagai pelaku usaha yang dapat memajukan usaha rakyat,” pungkasnya.