JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Anggota Komisi V DPR RI, Syahrul Aidi Maazat, menyebut Presiden Joko Widodo beserta jajarannya masih belum siap menghadapi wabah COVID-19. Musababnya, kebijakan penanggulangan antar Kementerian selama ini masih tak lepas dari tumpang tindih regulasi. Kesan pertama kali yang terlihat dari fenomena ini adalah koordinasi yang buruk sesama eksekutor penanganan wabah korona.
"Pemerintahan Jokowi Periode 2 ini masih saja seperti yang dahulu lemah dan plin-plan. Hal ini terlihat sekali saat wabah COVID-19 ini melanda negara ini. Banyak aturan dan kebijakan yang diambil tanpa ada sinkronisasi dengan semua stakeholder. Sering berubah-ubah dan banyak menyebabkan berbenturan dan membingungkan daerah dalam bekerja," kata Syahrul melalui keterangan tertulis, Rabu (29/4/2020).
Lebih jauh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini memandang Jokowi berusaha menutupi borok pemerintahannya itu melalui bantuan sembako yang ia bagikan saat di jalanan menuju Istana Bogor beberapa waktu lalu. Hal ini sepintas terlihat baik, tapi sebenarnya Jokowi sedang menjilat ludahnya sendiri karena melanggar aturan yang ia perintahkan untuk tak berkumpul-kumpul yang memicu keramaian.
Membagikan sembako di tengah pandemi corona, bertempat di jalan raya, lalu dibagikan kepada pengemudi ojek online secara "sembarangan" merupakan perbuatan yang menimbulkan keramaian.
"Jadi implementasinya Nol sehingga hanya menjadi Pencitraan Bantuan Oleh Presiden dan mengenyampingkan keselamatan rakyat," kata Syahrul.
TEROPONG JUGA:
>IPW Ungkap Sejumlah Sikap "Ngawur" Pemerintah Selama Pandemi
>DPR Minta Pemerintah Lakukan Pemutakhiran Data Penerima Bansos
>Permenkes dan Permenhub Tumpang Tindih Soal Ojol, PDIP Sebut Pemerintah Mencla Mencle
Syahrul mengungkapkan ada beberapa Kementerian yang menjadi mitra strategis penanganan korona tetapi tak mempunyai koordinasi yang baik. Instansi itu adalahKementrian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa dan PDTT, serta Kementerian Sosial.
Efek dari ketidaksinkronan itu, kata Syahrul, menimbulkan konflik sosial di lapisan bawah saat ini. Hal itu ditandai dengan berbagai penolakan yang dilakukan oleh kepala desa hingga ketua RT/RW yang tidak berani menjalankan aturan yang telah ditetapkan pemerintah pusat.
"Saya mendapat banyak laporan, mulai Bupati, Kades hingga Ketua RT atau RW yang tak berani menjalankan beberapa instruksi pemerintah pusat. Ada yang takut masyarakat kecewa, ada juga yang takut akan kena masalah pasca COVID-19. Akhirnya mereka hanya diam dan menunggu. Akibatnya penanganan COVID-19 makin susah dan korban berjatuhan" ungkapnya.
Demi mempertegas penanganan wabah, Syahrul meminta agar pemerintah mengevaluasi cara kerjanya dalam penanganan COVID-19. Sinkronisasi kata dia adalah aspek mutlak yang perlu diintegrasikan secara menyeluruh atas semua kebijakan. Jika ini terjalin maka dapat meminimalisir tumpang tindih peraturan.
"Sederhanakan alur birokrasinya dan cari cara jitu alur pemutusan mata rantai Covid misalkan saat ini ada pool test algoritma yang dikembangkan oleh anak-anak muda kita. Kemudian Sesuaikan standar dengan keadaan kekinian. Misalkan saat ini ada BLT dari kemendes PDTT, maka seharusnya kementerian terima dataup to datedari RT/RW jangan pakai data sendiri dari atas dan jangan terkungkung dengan kriteria kemiskinan yang di pakai dalam keadaan normal," kata Syahrul menjelaskan.