JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Pemerintah dan DPR telah sepakat melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta ditengah pandemi virus corona atau Covid-19. Mereka hanya menunda pembahasan satu klaster dari 11 klaster yang ada, yakni klaster ketenagakerjaan.
Dalam memperingati hari buruh Internasional, DPP Konfederasi Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) menuntut sekaligus meminta kepada pemerintah untuk segera menarik seluruh draft RUU Cipta Kerja dari pembahasan Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Pasalnya, proses pembuatan draft RUU Cipta Kerja tidak transparan serta tidak melibatkan stakeholder ketenagakerjaan, sehingga kesan tertutup dan sembunyi-sembunyi yang tidak bisa dicegah.
"Sikap DPP Konfederasi Sarbumusi adalah meminta kepada pemerintah untuk menarik seluruh draft RUU Cipta Kerja dari pembahasan Panja Baleg," kata Presiden DPP Konfederasi Sarbumusi, Syaiful Bahri Anshori, dalam keterangan tertulisnya, kemarin (2/5/2020).
Syaiful juga menjelaskan substansi klaster ketenagakerjaan yang diatur dalam RUU Cipta Kerja tidak berpihak dan merugikan pekerja. Pertama, penghapusan persyaratan pekerja kontrak/perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Sehingga pekerja kontrak akan sangat tidak terbatas yang sebelumnya paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang satu kali, kini pembatasan tersebut dihapus. "Dikhawatirkan nantinya semua pekerja menjadi pekerja kontrak," ungkapnya.
TEROPONG JUGA:
>RUU Cipta Kerja Wariskan Masalah Sampai Anak Cucu
>Hari Buruh 2020, SPI Serukan Kesejahteraan Petani Desa yang Terdampak Pandemi
Kedua, aturan outsorcing dalam pasal 64-65 RUU Cipta Kerja dihapus namun tetap mempertahankan pasal 66, sehingga aturan outsorcing sesuai dengan KUHPerdata yang tidak dibatasi akan membuat semakin menjamur pekerja outsorcing/alih daya.
Ketiga, lanjut Syaiful, mengenai pengaturan upah minimum. Sebelumnya Upah Minimum Provinsi (UMP)/Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) serta Upah Minimum tingkat Kabupaten/Kota (UMK)/Upah Minimum Sektoral Kabupatem/Kota (UMSK), dihapus menjadi dan hanya akan berpatok pada UMP.
"Lalu diatur upah minimum padat karya sehingga semakin membuat upah menjadi eksploitatif, dan banyaknya pasal yang menyebabkan mis interpretasi karena menggunakan istilah yang ambigu," ujar Syaiful.
Keempat, yang sangat fatal adalah perubahan mendasar terkait konsep pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu juga dihapusnya pasal 151 yang menghilangkan peran semua pihak dalam segala upaya untuk mencegah terjadinya PHK. "Selain itu pasal tentang sweetener sulit diimplementasikan," katanya.