JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Serikat Pekerja Indonesia (SPI) menyatakan kesiapannya membantu pemerintah mencetak jutaan hektare tanah menjadi sawah dan lahan pangan. SPI mendukung penuh program pemerintah yang ingin menanggulangi krisis pangan atau paceklik di musim wabah Covid-19 dengan membuka sawah secara besar-besaran demi ketahanan pangan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMGK) telah mewanti-wanti akan ada musim kemarau yang berpuncak pada Agustus mendatang. Musim kemarau kali ini akan membuat sebagian wilayah Indonesia lebih kering dari biasanya, yakni 30 persen di wilayah zona musim (ZOM).
Sebagai respons, Presiden Joko Widodo menginstruksikan pembukaan lahan sawah besar-besaran di Kalimantan Tengah sebesar 900 hektare. Namun karena pasokan lahan yang bisa digarap hanya 1.000 hektare, maka Kementerian Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) membuka peluang untuk menggunakan tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang habis dan tanah terlantar untuk dijadikan lokasi cetak sawah dan tanaman pangan.
Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian ATR/BPN, terdapatTanah Cadangan untuk Negara (TCUN)seluas14.825,4635 yang bisa dilepas dari total luas25.298,1735 hektare untuk dimanfaatkan sebagai lahan tanaman pangan.
"SPI dalam hal ini siap menjadi garda terdepan dalam program pencetakan sawah baru melalui redistribusi lahan eks HGU kepada petani pangan," kata ketua umum SPI Henry Saragih dalam keterangannya, Kamis (7/5).
TEROPONG JUGA:
>Jokowi Ingin Buka Sawah Besar-besaran di Kalimantan, DPR Tanya Dari Mana Anggarannya
>Jokowi Ingin Reformasi Sektor Pangan Akibat Wabah, Ingin Tiru Nabi Yusuf?
Sebagian tanah yang terlantar itu tentu memiliki karakter masing-masing. Apalagi lahan di Kalimantan Tengah yang ingin dicetak menjadi sawah adalah lahan gambut yang mudah terbakar. Namun Henry mengungkapkan SPI memiliki sumber daya yang cukup berpengalaman untuk mengolah tanah bekas perkebunan menjadi tanaman pangan.
“Di Padang Lawas, Sumatera Utara misalnya, petani anggota SPI sudah berhasil melakukan konversi dari tanaman perkebunan ke tanaman pangan, dari sawit ke padi. Upaya-upaya ini yang harus dipercepat dan dapat dimulai lebih dulu” ungkapnya.
Henry mengatakan pemerintah juga tidak harus terpaku pada pencetakan sawah baru sebagai upaya mengantisipasi krisis pangan. Upaya memaksimalkan tanaman pangan di tanah pertanian yang sudah ada, termasuk juga diversifikasi pangan dapat dilakukan.
"Sebenarnya di tengah krisis pangan ini yang paling cepat dilakukan bukanlah mencetak sawah, tetapi selain gerakan menanam di sawah yang sudah ada, juga menanam padi di wilayah non-persawahan (padi gogo) dan juga mendorong diversifikasi pangan karena masyarakat Indonesia tidak hanya mengenal padi sebagai sumber pangan utama, terdapat umbi-umbian sebagai bahan pangan utama," paparnya.
Langkah memanfaatkan pangan selain beras itu, kata Henry, dapat berdampak banyak bagi para petani dan rakyat yang bekerja di pedesaan. Sebab, petani di desa tidak hanya menanam padi, melainkan juga umbi-umbian. Penambahan di sektor pangan ini tentu dapat menyejahterakan mereka karena bisa mengantisipasi munculnya pengangguran akibat Covid-19.
"Rilis BPS tentang situasi ketenagakerjaan di pedesaan menunjukkan terjadinya peningkatan pengangguran di pedesaan. Oleh karena itu, rencana redistribusi ini dapat dihubungkan dengan penanganan Covid-19 yang dikeluarkan pemerintah. Kementerian Pertanian misalnya memiliki kebijakan ‘Ayo Menanam’ untuk memaksimalkan produksi pangan," pungkasnya.