JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pemerintah mengumumkan kebijakan baru terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Jika dulu pemerintah pontang-panting menekan laju penyebaran virus, kini pemerintah berupaya mengerem laju PHK massal akibat PSBB. Memberi kelonggaran bekerja bagi orang-orang berusia di bawah 45 tahun pun menjadi opsi yang diambil pemerintah.
Sebagaimana biasanya, kebijakan pemerintah terkait penanggulangan di masa wabah selalu menuai protes keras. Untuk alasan kelonggaran ini, beberapa pihak memprotes karena berpotensi memperparah persebaran COVID-19 di Indonesia.
Sebut saja Ekonom senior dari Institutefor Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri Batubara. Ia mengatakan kelonggaran bekerja bagi warga berusia 45 tahun ke bawah tak perlu diputuskan terburu-buru. Memang pemerintah tengah dililit kebingungan untuk mengatasi gelombang virus dan PHK. Akan tetapi, kata Faisal, opsi melonggarkan PSBB ini mesti diputuskan dengan pertimbangan keilmuan, pendampingan ahli pandemi, dan basis data yang akurat.
Pasalnya, penyebaran virus sampai saat ini masih terjadi. Kasus baru harian dan jumlah kematian harian memang turun secara konsisten dalam satu hingga dua minggu. "Tapi kemarin angka kematian naik lagi jadi 55 kasus. Jadi angka new cases kita fuktuatif," kata dia dalam sebuah webinar di Jakarta, Senin (18/5).
TEROPONG JUGA:
> Pelonggaran PSBB Izinkan Usia 45 ke Bawah Bekerja, KSPI: Usia Muda Bukan Jaminan Kebal Virus
Faisal menerangkan basis data yang bisa dijadikan landasan pelonggaran PSBB. Menurutnya, kasus aktif yang harus jadi hitungan pemerintah ialah angka kumulatif kasus COVID-19 dikurangi angka kematian dan angka pasien sembuh. Jika tren kasus aktif turun, maka pelonggaran pun bisa dilakukan.
Akan tetapi, pelonggaran tetap harus dilakukan dengan waspada agar tidak mengulangi kejadian seperti di Iran. Negara Mullah itu kecolongan saat melakukan pelonggaran di mana kasus aktif mulai menurun. Sayangnya, karena lengah, kasus aktif pun kembali meningkat.
Di samping itu, Faisal menekankan pentingnya melakukan tes secara semaksimal mungkin guna mengetahui kondisi yang sesungguhnya. Tes masif harus dilanjutkan dengan tracing, tracking, kemudian barulah dilakukan treatment. Rangkaian tersebut dinilainya tidak bisa lagi ditawar.
"Di daerah mudik, mereka yang membawa virus itu akan berjejer di lapangan atau tenda untuk perawatan karena tidak ada cukup tempat. Dokter pun sudah lelah karena sudah dua bulan tidak pulang. Maka tolong empatinya juga bagi saudara kita yang sudah disiplin dua bulan," jelasnya.
Selain itu, ia berharap tidak ada tumpang tindih dalam komando penanganan virus COVID-19. Presiden Jokowi hanya perlu menunjuk satu komandan yang benar-benar bisa memimpin penanganan wabah ini di Indonesia.
"Kita tidak punya komandan perang karena setiap orang punya komando sendiri untuk menghadapi musuh. Kita niscaya akan kalah makanya komandan harus jelas. Pak Jokowi tolong tunjuk satu komandan yang beneran komandan. Yang lain agar tutup mulut," tegasnya.