JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pemerintah telah menyampaikan pengantar dan keterangan atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun 2021 pada Rapat Paripurna DPR (12/05/2020).
Dokumen tersebut merupakan gambaran awal sekaligus arah skenario kebijakan ekonomi dan fiskal yang menjadi bahan pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan Nota Keuangan beserta RUU APBN Tahun 2021.
Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin menilai dalam penyusunan APBN 2021 perlu dipahami sebagai instrumen penting untuk menjawab tantangan dan dinamika pemulihan dampak pandemi COVID-19 yang dapat mempengaruhi kesinambungan fiskal beberapa tahun ke depan.
“Peningkatan defisit anggaran serta pelebaran persentase utang negara terhadap beban anggaran akibat pandemi akan memberi dampak terhadap keuangan negara hingga beberapa tahun ke depan," ujat Puteri melalui pesan singkatnya, Rabu (10/06/2020).
"Karenanya, perumusan APBN 2021 yang berdasar pada dinamika anggaran negara tahun 2020 sangatlah krusial bagi kesinambungan kebijakan fiskal Indonesia,” sambungnya.
Untuk itu, Wakil Sekretaris Fraksi Partai
Golkar Bidang Ekonomi dan Keuangan tersebut meminta agar pemerintah melakukan penghitungan asumsi makro APBN 2021 secara tepat agar memperkecil deviasi antara asumsi makro dengan realisasinya.
"Di tengah kondisi seperti ini, indikator asumsi makro diperkirakan bergerak dinamis," tandasnya.
Maka dari itu, Puteri mengatakan perumusan untuk APBN 2021 perlu dilakukan dengan cermat, detail, dan antisipatif sesuai perkembangan serta evaluasi kondisi ekonomi global dan domestik terkini.
"Hal ini perlu dilakukan untuk memperkecil deviasi antara target dan realisasinya yang dapat mempengaruhi besaran outlook
dan realisasi anggaran negara,” katanya.
Dalam konferensi pers pada Rabu (3/6), Pemerintah menyatakan akan mengubah perkiraan defisit APBN 2020 dari 5,07 persen menjadi 6,34 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan merevisi Perpres No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020. Pelebaran defisit ini diakibatkan penurunan perkiraan penerimaan negara dari Rp1.760,9 triliun menjadi Rp1.699,1 triliun.
"Selain perkembangan beberapa indikator makro, tentunya risiko atas pelaksanaan APBN 2020 juga perlu menjadi perhatian dalam penyusunan RAPBN 2021," tutur Puteri.
Politisi asal Jawa Barat ini menilai hal tersebut bertujuan untuk menciptakan kesinambungan fiskal agar dapat menjaga kredibilitas dan akuntabilitas anggaran negara.
"Selain itu, untuk mendukung upaya pemulihan dampak pandemi, ke depannya kebijakan fiskal pun harus fokus pada percepatan pemulihan kesehatan dan sektor ekonomi strategis melalui program-program yang memberikan dampak langsung bagi masyarakat,” tutupnya.