JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Dewan Perwakilan Rakyat dan penggiat antikorupsi menyatakan masalah Kartu Prakerja yang baru-baru ini terungkap bisa menggelembung jika pemerintah terus bungkam. Bahkan, konflik kepentingan yang saat ini masih menjadi masalah sementara, bisa berujung pada kasus korupsi.
Anggota Komisi Hukum (Komisi III) DPR, Arsul Sani, mengatakan pemerintah perlu menindaklanjuti tidak hanya ihwal masalah yang ditemuan KPK, tetapi juga apa yang telah disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tindak lanjut tersebut bisa berupa tindakan korektif sesuai dengan apa yang direkomendasikan baik KPK maupun BPK.
"Yang jelas harus ada tindakan korektifnya atas dua hal. Pertama, korektif ke belakang atas hal yang dianggap sebagai "kesalahan" yang dibuat. Kedua, korektif kedepan berupa penataan ulang kebijakan pelatihan kartu prakerja," kata Arsul saat dihubungi, Ahad, 21 Juni 2020.
TEROPONG JUGA:
> Buntut Temuan KPK Soal Kartu Pra Kerja, Legislator PPP: Jangan Menghambur-hamburkan Uang
Kendati begitu, politikus Partai Persatuan Pembangunan ini mengungkapkan saat ini belum ada konsekuensi hukum yang bisa dikenakan kepada pemerintah karena masalah kartu prakerja masih sebatas potensi merugikan keuangan negara. Namun, tidak menutup kemungkinan masalah itu akan naik menjadi kasus korupsi jika ditemukan bukti baru oleh KPK.
"Tentu temuan dan rekomendasi KPK tersebut harus ditindaklanjuti, kalau tidak mau, ada potensi berkembangnya dugaan kasus," ungkap legislator dari Jawa Tengah ini.
Senada dengan Arsul, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menuturkan ada dua hal yang berpotensi merugikan negara dari temuan KPK. Pertama, karena tidak dilakukannya tender untuk mitra platform kartu prakerja sehingga harga yang didapat oleh mereka menjadi wajar.
"Untuk perkara ini bisa berimplikasi hukum karena bisa saja harga wajar 500 ribu namun nyatanya dijual 1 juta. Nah, disini terdapat potensi kerugian 500 ribu dikali seluruh peserta kartu prakerja," kata Boyamin saat dihubungi terpisah.
Konsekuensi dari tidak dilakukannya tender, kata Boyamin, akan berpotensi terjadi monopoli pada penyediaan pelatihan kartu prakerja. Masalah inilah yang disingkap KPK karena terdapat konflik kepentingan antara platform digital dengan pihak penyedia pelatihan (suplaiyer video pelatihan).
"KPK seharusnya dilanjutkan pendalaman berapa harga yang dibayarkan digital platform kepada suplaiyer video pelatihan, aku yakin sangat murah," katanya.
Kedua, di sisi lain KPK mengungkap ada peserta yang belum menyelesaikan pelatihan secara lengkap namun sudah dibayar penuh. Skandal seperti ini menurut Boyamin berpotensi merugikan negara karena bagaimanapun pembayaran lunas maka pekerjaan jasa atau barang harus selesai 100 persen. Jika tidak, maka selisihnya menjadi kerugian negara.
"Misal bangun gedung seharga 100 M, sudah dibayar lunas. Namun kemudian terdapat kekurangan pekerjaan pondasi, maka kekurangan pondasi ini menjadi kerugian negara," urainya menganalogikan.
Boyamin juga sependapat dengan Arsul, masalah kartu prakerja saat ini bisa semakin membesar jika pemerintah sendiri tak segera mengevaluasi sejumlah rekomendasi dari KPK. "Jika nanti cukup bukti penyalahgunaan wewenang dan melawan hukum serta terjadi kerugian negara, maka akan menjadi dugaan kasus korupsi," tandasnya.
Seperti diketahui, KPK menemukan masalah dalam empat aspek program Kartu Prakerja, yakni; pendaftar di program Kartu Prakerja adalah kelompok yang bukan target yang disasar. Kemudian mitra dengan delapan platform digital tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah.
KPK juga menemukan bahwa kurasi materi pelatihan tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai dan metode pelaksanaan program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara karena metode pelatihan hanya dilakukan monolog atau satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol yang jelas.
Berikutnya, KPK telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk perbaikan teknis pelaksanaan program kartu prakerja.