JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Tahun lalu Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump memilih keluar dari erjanjian Perdagangan Senjata PBB. Perjanjian ini dibentuk untuk mengontrol aliran senjata ke zona konflik.
Ketika AS memilih keluar, Cina justru ingin bergabung dalam kesepakatan tersebut. Badan legislatif pimpinan Partai Komunis Cina memutuskan untuk bergabung dalam perjanjian itu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian mengatakan kepada wartawan bahwa bergabung dengan perjanjian itu adalah "langkah penting lain bagi China untuk mendukung multilateralisme".
"(Cina) berupaya terus menerus untuk mempertahankan dan meningkatkan perdamaian dan stabilitas di dunia dan kawasan. Kami selalu secara ketat mengontrol ekspor produk militer," Lijian.
Lebih lanjut Lijian menegaskan bahwa negaranya hanya mengekspor produk-produk seperti itu ke negara-negara berdaulat dan bukan ke kelompok-kelompok bukan pemerintah.
Perjanjian perdagangan senjata itu mengharuskan negara-negara anggota untuk menyimpan catatan transfer senjata internasional dan melarang pengiriman lintas batas yang dapat digunakan dalam pelanggaran hak asasi manusia atau serangan terhadap warga sipil.
Keinginan Cina untuk bergabung dalam perjanjian tersebut bakal menempatkan Cina sebagai negara berpengaruh setelah keluarnya AS.
Sementara itu, studi yang dilakukan Stockholm International Peace Research Institute mengatakan Cina sekarang adalah produsen senjata terbesar kedua di dunia, di belakang AS.