JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Perkembangan situasi global yang diikuti kemajuan teknologi komunikasi yang begitu pesat menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila yang merupakan dasar negara tentunya diharapkan dapat menjadi filter agar bangsa Indonesia tidak mengalami disorientasi di masa depan.
Sebab itu, diperlukan penguatan kelembagaan pembinaan ideologi Pancasila agar nilai-nilai Pancasila dapat dipahami dan dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, dan golongan
Demikian poin penting yang mengemuka pada webinar yang diselenggarakan oleh PMII Universitas Pamulang bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), MUI, dan DPD RI dengan tema “RUU Haluan Ideologi Pancasila: Penguatan Atau Degradasi,"Ahad, 28 Juni 2020.
Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainal Arifin Hoesein yang menjadi salah satu narasumber pada webinar tersebut menerangkan bahwa dalam konsensus terdapat tiga hal utama yang harus diperhatikan.
“Cita-cita bersama sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, kesepakatan tentang landasan penyelenggara negara, dan kesepakan tentang bentuk dan prosedur negara," kata Zainal.
Pancasila, kata Zainal, merupakan sumber dari segala sumber hukum, karena itu RUU yang terkait dengan pelembagaan sebetulnya bisa saja diterima, dengan catatan bahwa TAP MPRS XXV 1966 yang menegaskan terhadap larangan paham Komunisme harus dicantumkan.
Anggota DPD RI, Abdul Kholik, menjelaskan pandangannya pada aspek proses dan mekanisme lahirnya sebuah UU. Zainal mengatakan bahwa polemik terhadap RUU HIP ini sulit dihindari oleh karena sebagian masyarakat melihat prosesnya yang terlalu cepat.
Sekretaris Utama BPIP, Karjono, memaparkan terkait kronologi dan latar belakang RUU HIP yang terlanjur menjadi polemik tersebut. Menurutnya, RUU HIP bertujuan untuk memperkuat kelembagaan yang bertugas melaksanakan pembinaan ideologi Pancasila.
“Penguatan pelembagaan pembinaan ideologi Pancasila menurut aturan yang ada sangat dimungkinkan. Kelembagaan yang ada saat ini dilandasi oleh Peraturan Presiden, tentu masih membutuhkan penguatan agar fungsinya lebih maksimal, pencantuman TAP MPRS XXV 1966 patut untuk dimasukkan," terangnya.
Pengamat dari FISIP UIN Syarif Hidatulloh Jakarta Zaki Mubarok menambahkan bahwa terjadinya polemik RUU HIP merupakan proses yang harus dipahami sebagai pencarian titik keseimbangan dari dua golongan ekstrim.
“Tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV 1966 dan munculnya istilah Trisila dan Ekasila dipandangan bahwa RUU HIP bersifat sekuler. Secara substansi ditengarai sebagai tindakan yang mencoba memonopoli tafsir terhadap nilai-nilai Pancasila," katanya.
Sebab itu, ia mengatakan DPR perlu lebih peka terhadap aspirasi masyarakat merespons polemik RUU HIP. “Jika dilakukan revisi menjadi RUU kelembagaan pembinaan kemungkinan penolakan tidak sebanyak seperti sekarang. Dan ini yang paling mungkin untuk dilakukan sebagai titik kompromi," katanya.
Sementara itu, Dosen Hukum UNPAM, Rohadi, yang juga betindak sebagai narasumber dalam webinar tersebut mengatakan bahwa penguatan kelembagaan pembinaan Pancasila sangat diperlukan mengingat tantangan yang dihadapi bangsa ini semakin berat seiring dengan arus informasi yang sulit dikendalikan difasilitasi oleh kemajuan teknologi.
“Penguatan kelembagaan pembinaan Pancasila dapat saja diusulkan dengan catatan tidak merubah rumusannya. Yang bisa dilakukan hanya sebatas penjabaran terkait implementasi demokrasi Pancasila, misalnya," kata Tohadi.