JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menanggapi pernyataan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang yang meminta Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) ditarik dari prolegnas karena mengaku isi materinya yang sulit dibahas. Hal itu disampaikan Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi DPR, Selasa (30/6).
Peneliti ICJR Genoveva Alicia mengatakan, kesulitan pembahasan RUU PKS secara materi tidak seharusnya menjadi penghalang penyusunan RUU PKS.
"Hal tersebut harus menjadi cambuk DPR dan pemerintah bahwa melindungi korban kekerasan seksual adalah hal yang kompleks, maka negara harus hadir dalam perumusan kebijakan dan implementasi. DPR harus segera menjamin pembahasan RUU PKS, tetap harus menjadi prioritas," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu, (1/7/2020).
Genoveva mengatakan, DPR dan pemerintah perlu mengetahui kembali bahwa semangat RUU PKS dihadirkan adalah untuk memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Selama ini, ungkap dia, korban kekerasan seksual masih sulit memperoleh perlindungan dalam aspek penanganan kasus, layanan bantuan langsung korban, hingga aspek pemulihan komprehensif.
Genoveva menyebut kasus yang menimpa Baiq Nuril menjadi contoh perlunya perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual.
"Korban-korban selain Baiq Nuril jelas akan takut untuk berjuang memperoleh keadilan jika masih dibayangi ketakutan kriminalisasi termasuk stigma aparat penegak hukum yang justru menyalahkan korban," katanya.
Secara komprehensif, ia menjelaskan, perlu tiga dasar pembahasan RUU PKS. Pertama, minimnya akses pendampingan bagi korban kekerasan seksual.
Berdasarkan data BPS pada tahun 2018 tercatat jumlah kasus perkosaan adalah 1.288 sedangkan pencabulan tercatat 3.970. Selain itu, paling tidak terdapat 5.247 kasus kekerasan seksual pada 2018, sedangkan pada tahun 2017 berjumlah 5.513 kasus.
"Namun, akses perlindungan terhadap korban kekerasan seksual sangat minim," ujarnya.
Kedua, ia menilai pemerintah abai terhadap pemulihan korban kekerasan seksual dengan mengeluarkan pembiayaan korban kekerasan seksual dalam jaminan kesehatan. Hal tersebut dibuktikan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mengecualikan pelayanan kesehatan untuk korban kekerasan seksual.
Berdasarkan Perpres tersebut, luka akibat kekerasan tidak dikategorikan sebagai penyakit. Akibatnya, sejak pemberlakuan perpres tersebut, biaya visum et repertum dan pengobatan yang dijalani perempuan dan anak korban kekerasan tidak ditanggung negara.
Ia mengimbuhkan, pada Januari 2020, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pembiayaan visum dan pengobatan luka kekerasan. Permintaan itu agar Jokowi memberikan lampu hijau kepada Kementerian PPPA untuk mengisi kekosongan dalam pembiayaan visum dan pengobatan luka kekerasan menggunakan Dana Dekonsentrasi di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ataupun Dana Alokasi Khusus (DAK).
Namun, hingga saat ini belum ada perkembangan mengenai pemberitaan ini. "Selama ini, kebijakan pembiayaan visum yang ditanggung negara tergantung pada kebijakan daerah masing-masing, seperti misalnya di DKI Jakarta yang menggratiskan biaya visum bagi korban kekerasan perempuan dan anak," ungkapnya.
Ketiga, belum adanya mekanisme komprehensif terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Saat ini, formulasi hak korban dan pemenuhannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Selain itu, lembaga yang menyelenggarakan menyebabkan permasalah hak korban kekerasan seksual bervariasi. Dua hal tersebut menjadikan permasalahan hak korban kekerasan seksual tidak terkoordinasi dan tidak komprehensif.
Sebab itu, ICJR menganggap RUU PKS sangat penting untuk segera dibahas dan tetap sebagai RUU prioritas 2020. "Penanganan korban kekerasan seksual jelas kompleks dan sulit, maka dari itu memerlukan peran negara, jika negara menyerah karena kesulitan itu, maka korban akan menjadi korban untuk kesekian kalinya," kata dia.